Bolehkan Dana Covid-19 Untuk Bantu Likuiditas Bank, Kebijakan Sri Mulyani Ngawur

Bolehkan Dana Covid-19 Untuk Bantu Likuiditas Bank, Kebijakan Sri Mulyani Ngawur

22 Mei 2020
Menkeu Sri Mulyani/net

Menkeu Sri Mulyani/net

RIAU1.COM -JAKARTA - Kebijakan Menteri euangan Sri Mulyani dinilai ngawur dalam skema penempatan dana pemerintah di bank-bank penyangga likuiditas yang besarannya mencapai Rp87,59 triliun.

Pasalnya, Sri Mulyani tidak konsisten sebagaimana terbitnya PP 23/2020 sebagai pelaksanaan UU Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Disease 2019 atau COVID-19 penanggulangan Covid-19.

Karena membolehkan bank jangkar memberikan dana pemerintah tersebut kepada bank yang kalah klering atau kekurangan likuiditas.

Hal itulah yang diungkapkan oleh Anggota Komisi XI DPR RI Heri Gunawan dalam, Jakarta, Kamis (21/5/2020).

Heri menjelaskan, dalam PP tersebut awalnya ditegaskan penempatan dana pemerintah itu bukan merupakan penyangga untuk membantu likuiditas bank.

Namun dalam point kedua bank pelaksana atau bank yang melakukan restrukturisasi kredit/kekurangan likuiditas, menyampaikan proposal penempatan dana kepada bank peserta atau bank jangkar berdasarkan restrukturisasi yang dilakukan, jumlah dana yang dibutuhkan, dan seterusnya.

"Mencermati penjelasan Menteri Keuangan Sri Mulyani soal skema penempatan dana pemerintah di bank-bank penyangga likuiditas dalam negeri atau bank jangkar sebesar Rp 87,59 triliun, tampak sekali kebijakan ini ngawur," ucapnya.

"Di sini jelas terlihat inkonsistensi dari kebijakan ini. Pertama dia katakan penempatan dana tersebut bukan merupakan penyangga untuk membantu likuiditas bank. Tetapi di poin kedua disebutkan bank pelaksana atau bank yang melakukan restrukturisasi kredit/kekurangan likuiditas. Skema pada point 1 dan point 2 berseberangan bos. Bahaya ini," tegas Heri.

Selain itu, Heri juga menyebutkan, yang menjadi dasar penilaian bahwa sebuah Bank sehat atau tidak adalah Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Sebagaimana Pasal 11 ayat 4:

"Bank Peserta dapat memberikan dana penyangga likuiditas kepada Bank Pelaksana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila Bank Pelaksana tersebut “Merupakan bank kategori sehat berdasarkan penilaian tingkat kesehatan bank oleh OJK”


Kemudian mengacu Pasal 11 ayat (6) PP tersebut, OJK dan/atau otoritas yang berwenang memberikan informasi yang dibutuhkan oleh Bank Peserta dalam menyediakan dana penyangga likuiditas bagi Bank Pelaksana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (4).

"Bagaimana mungkin OJK dapat memberikan informasi yang objektif dan bisa dijadikan acuan dalam memitigasi risiko. Wong selama ini assesment dan fungsi pengawasannya saja sangat lemah. Bank dan BUMN akan menjadi wadah pertama terjadinya penyimpangan jika konsep KSSK ini dijalankan," jelasnya.

Wakil ketua Fraksi Gerindra DPR ini menyebutkan, perbankan akan menjadi tempat pertama terjadinya penyimpangan atau fraud. Maka perlu dilakukan mitigasi resiko dan rambu-rambu yang jelas, tegas dan terukur untuk menghindari terjadinya atau mengurangi ketidakpastian akaibat dari akurasi data yang tidak valid.

Sebab, risiko yang terbesar adalah, bank peserta ternyata sudah menjadi bank gagal sebelum kebijakan penanganan pandemic Covid-19 terjadi, maka resiko TPBank (Tindak Pidana Perbankan) akan menjadi objek pemeriksaan.

Namun yang menjadi pertanyaan, katanya, kenapa tiba-tiba saja skema tersebut diumumkan padahal sudah ada kesimpulan rapat kerja (raker) Komisi XI DPR RI bersama Menteri Keuangan, Dewan Gubernur Bank Indonesia, Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan, Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan, pada hari Rabu, 6 Mei 2020


Bunyi kesimpulan raker tersebut diantaranya, adalah; Menteri Keuangan, Gubernur BI, Ketua DK OJK, dan Ketua DK LPS membuat perencanaan kebijakan, regulasi, dan program penyelamatan perekonomian nasional dan prakiraan kebutuhan pembiayaan untuk penyelamatan perekonomian nasional beserta sumber pembiayaan dan pembagian risiko dan beban serta dikonsultasikan dengan Komisi XI DPR RI.

"Poin ketiga kesimpulan raker itu seharusnya lebih dahulu dibahas melalui rapat kerja dengan Komisi XI DPR, tetapi ini kenapa konsultasi belum dilakukan, skemanya sudah langsung diumumkan. Ada apa ini?" tandas legislator dapil Jabar IV ini. (Bisma)