KPK Telusuri Aset Pemilik BDNI Sjamsul Nursalim di Luar Negeri

KPK Telusuri Aset Pemilik BDNI Sjamsul Nursalim di Luar Negeri

11 Juni 2019
Ilustrasi Sjamsul Nursalim. Foto: Kumparan.com.

Ilustrasi Sjamsul Nursalim. Foto: Kumparan.com.

RIAU1.COM -KPK memastikan akan menelusuri sejumlah aset dari pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim yang terdapat di luar negeri. Penelusuran aset itu merupakan bagian dari pemulihan aset atas kerugian negara triliunan rupiah yang diduga timbul akibat korupsi penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

"Prinsip dasarnya kalau ada aset yang misalnya asetnya berada di Indonesia tentu akan dilakukan tracing (pelacakan). Kalau ditemukan informasi juga ada aset di luar negeri di manapun itu ya, tidak harus di Singapura maka tidak tertutup kemungkinan akan diidentifikasi juga," kata juru bicara KPK Febri Diansyah di kantornya, Selasa (11/6/2019).

Penelusuran aset Sjamsul di luar negeri tentu akan dibarengi dengan sejumlah proses koordinasi dengan sejumlah pihak terkait dan otoritas negara setempat. Karena, KPK tidak bisa masuk melakukan tindakan-tindakan hukum di luar yurisdiksi Indonesia. KPK berharap dari penelusuran dapat membuka jalan untuk memulihkan kerugian yang diderita keuangan negara terkait perkara ini.

"Identifikasi dari aset-aset yang dipandang relevan, saya belum bisa sampaikan secara detail ya apa saja yang sudah diidentifikasi atau asset tracing sudah dilakukan terhadap aset yang mana saja. Kami harapkan Rp 4,58 triliun bisa dirampas untuk negara dan kemudian dikembalikan ke dalam masyarakat," kata Febri.

Kasus ini bermula pada saat BDNI milik Sjamsul mendapat BLBI sebesar Rp37 triliun yang terdiri dari fasilitas surat berharga pasar uang khusus, fasilitas saldo debet, dan dana talangan valas. Selain itu, BDNI juga disebut menerima BLBI sebesar Rp5,4 triliun dalam periode setelah 29 Januari 1999 sampai dengan 30 Juni 2001 berupa saldo debet dan bunga fasilitas saldo debet.

Namun kemudian BDNI melakukan penyimpangan dalam penggunaan dana puluhan triliun tersebut. BPPN kemudian menetapkan BDNI sebagai bank yang melakukan pelanggaran hukum.

Untuk menyelesaikan persoalan hukum tersebut BDNI diwajibkan mengikuti Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) dengan pola perjanjian Master Settlement Aqcusition Agreement (MSAA).

Loading...

BDNI yang mengikuti MSAA itu menjaminkan aset berupa piutang petambak sebesar Rp4,8 triliun. Utang itu ternyata dijamin oleh dua perusahaan yang juga milik Sjamsul, PT Dipasena Citra Darmadja dan PT Wachyuni Mandira.

Sjamsul menjaminkan hal tersebut sebagai piutang lancar. Namun belakangan diketahui bahwa piutang itu merupakan kredit macet.

Syafruddin dinilai terbukti menghapus piutang BDNI kepada petani tambak yang dijamin oleh PT Dipasena Citra Darmadja dan PT Wachyuni Mandira. Kedua perusahaan tersebut merupakan perusahaan Sjamsul Nursalim.

Setelah dilakukan penghitungan, didapatkan hak tagih utang dari para petambak plasma tersebut hanya sebesar Rp220 miliar. Meski demikian, sisa utang BDNI yakni sebesar Rp4,58 triliun belum dibayarkan.

Sementara Syafruddin, yang menjadi Kepala BPPN sejak 22 April 2002, kemudian menandatangani surat yang menjelaskan bahwa Sjamsul sudah menyelesaikan kewajiban PKPS. Perbuatan Syafruddin tersebut dinilai membuat Sjamsul Nursalim mendapat keuntungan sebesar Rp4,58 triliun. Hal tersebut pula yang kemudian dihitung sebagai besaran kerugian negara.