YLBHI Nilai Aparat Langar Hukum, Bubarkan Pesta Karena Corona

YLBHI Nilai Aparat Langar Hukum, Bubarkan Pesta Karena Corona

30 Maret 2020
ilustrasi pesta pernikahan/net

ilustrasi pesta pernikahan/net

RIAU1.COM -Banyaknya pembubaran kerumunan warga oleh kepolisian saat wabah corona ini mengundang reaksi. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menyoroti tindakan aparat kepolisian membubarkan kerumunan di tengah pandemi virus corona. Tindakan pembubaran yang terjadi di banyak tempat, mulai dari kafe hingga pesta itu bermula dari Maklumat Kapolri tentang Kepatuhan terhadap Kebijakan Pemerintah dalam Penanganan Penyebaran Virus Corona tertanggal 19 Maret 2020.

"Belakangan ini bahkan beredar video singkat tentang pembubaran pesta dan pernyataan anggota Polri memerintahkan anggotanya untuk membawa penyelenggara ke kantor polisi," kata Ketua YLBHI Asfinawati dalam keterangan tertulis, Ahad, 29 Maret 2020.

Asfinawati mengatakan tindakan kepolisian itu berpotensi melawan hukum. Sebab, hingga kini Presiden Joko Widodo belum menetapkan status kedaruratan kesehatan masyarakat seperti yang disyaratkan dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan.

"Mengkriminalkan rakyat hanya berdasarkan maklumat dan belum ada penetapan status Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dari pemerintah adalah perbuatan semena-mena dan melawan hukum," ujar Asfinawati.

Sebelum status darurat kesehatan itu, kata Asfin, diperlukan juga peraturan pemerintah (PP) tentang Tatacara Penetapan dan Pencabutan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat.

Loading...

UU Kekarantinaan Kesehatan juga mensyaratkan PP tentang Penanggulangan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat serta pengaturan lebih lanjut mengenai Karantina Rumah, Karantina Rumah Sakit, Karantina Wilayah serta Pembatasan Sosial Berskala Besar.


YLBHI menyatakan mendukung upaya tidak menyebarnya Covid-19 melalui pembatasan interaksi fisik (physical distancing) dan tinggal di rumah. Namun, YLBHI menilai hal itu perlu dilakukan dengan penyadaran, bukan pemidanaan.

Asfinawati mengatakan pembatasan interaksi fisik justru akan sulit apabila seseorang menjalani proses pidana karena minimnya fasilitas. Apalagi, hampir seluruh rumah tahanan (rutan) dan lembaga pemasyarakatan di Indonesia mengalami kelebihan penghuni (over crowding)

"Penggunaan pidana dalam hal ini hanya akan menempatkan yang bersangkutan dalam situasi rentan," kata Asfinawati.