Guru di Meranti Nekat Terjun Ke Laut Karena Kapalnya Dihantam Gelombang, Begini Kisahnya

Guru di Meranti Nekat Terjun Ke Laut Karena Kapalnya Dihantam Gelombang, Begini Kisahnya

22 Januari 2020
Guru SDN 10 Lukun, Dusun Keridi Desa Bathinsuir saat bersiap pergi mengajar.

Guru SDN 10 Lukun, Dusun Keridi Desa Bathinsuir saat bersiap pergi mengajar.

RIAU1.COM - Kisah guru di Kabupaten Kepuluan Meranti menjadi viral belakangan ini. Hal ini setelah beredarnya video dimana seorang guru nekat terjun kelaut untuk mengamankan kapal pompong yang akan digunakan bersama rekannya untuk pergi mengajar dihantam gelombang. 

Diketahui guru-guru tersebut mengajar disebuah sekolah yang berada didaerah terisolir tepatnya di SDN 10 Lukun, Dusun Keridi Desa Bathinsuir, Kecamatan Tebingtinggi Timur.

Dalam video yang berdurasi selama 39 detik itu tampak perahu yang ditumpangi para guru ini dihantam gelombang besar pada Selasa (21/1/2020) siang, akibatnya kapal yang dikemudikan oleh kepala sekolah yang bernama Suardi ini terpaksa harus menepi ke tepian hutan bakau. 

Bahkan seorang guru berstatus PNS  nekat melompat ke laut. Guru yang diketahui bernama Syamsul Bahri itu berniat mengamankan perahu agar tidak oleng dan tenggelam. Sementara itu guru- guru perempuan terlihat berteriak histeris karena ketakutan.

Perahu kecil itu memang diketahui menjadi alat transportasi satu-satunya bagi para guru ini yang mengajar di daerah terisolir, karena jika harus melalui jalur darat, maka membutuhkan waktu hampir tiga jam lamanya karena harus memutar.

Setiap hari mereka berangkat menggunakan perahu kecil ini, tak kira menentang badai, gelombang maupun kabut, hal itu mengingat puluhan murid sudah menunggu disana, kepala sekolah bersama empat guru lainnya terpaksa menyeberangi Sungai Suir walaupun harus ada resiko yang akan dihadapi.

Dikatakan Suardi, kapal Pompong miliknya itu merupakan satu-satunya moda transportasi menuju ke tempat mengajar.

"Kalau Pompong ini rusak, kami bersama para guru dipastikan tidak bisa pergi mengajar, karena ini merupakan satu satunya transportasi menuju kesana," kata Suardi.

Selama mengabdi sudah banyak suka duka pria yang menjadi guru sejak tahun 1988 ini, mulai dari perahunya tenggelam, mesin rusak di tengah perjalanan, sampai dengan kipas perahu tersangkut sampah yang berada didasar sungai.

"Kalau kipas perahu tersangkut, terpaksa saya sendiri yang menyelam ke bawah dasar sungai," kata Suardi.

Hambatan perjalanan menuju sekolah tempat mendidik anak anak suku Akit tidak sampai disitu, setelah menyusuri sungai yang ditempuh selama 1 jam, perjalanan panjang sudah menanti dengan kondisi jalan berlumpur yang membenamkan hingga diatas mata kaki.

Agar bisa melewati jalan tersebut, mereka juga harus melepas sepatu dan menyisingkan celana mereka hingga ke lutut.

"Kalau sepatu tidak dilepas, tidak bisa jalan karena lengket oleh lumpur tanah liat. Tidak ada base ataupun semenisasi, hanya tanah liat yang berlumpur," ujarnya.

Tak jarang mereka saling bercanda untuk menghilangkan lelah, sesekali mereka berpegangan tangan satu sama lain agar tidak tergelincir akibat jalan licin dan tidak tercebur kedalam sungai ketika melalui jembatan yang rapuh dan berlobang.

"Di dalam perjalanan, kami bersama guru lainnya selalu bercanda, ini sengaja dilakukan untuk mengusir rasa penat kami," cerita Suwardi.

Perjuangan kepala sekolah yang sudah mengabdi sejak tahun 1996 ini tidak hanya saat menuju sekolah, lahan seluas 3240 m2 tempat sekolah ini berdiri pun dibelinya seharga Rp250 ribu pada tahun 2000 silam.

Suardi mengungkapkan, sebelum mengajar di SDN 10 Lukun, Desa Batinsuir, ia mengajar di sekolah SDN 6 Desa Lukun, Kecamatan Tebingtinggi Timur.

Namun, saat itu ia mendengar jika desa tetangga, Desa Batinsuir tidak memiliki guru dan sekolah untuk mengajar membaca, menulis dan menghitung bagi anak-anak suku Akit.

"Saat saya mengajar dulu, tanah ini sengaja saya beli untuk dibangun sekolah, agar anak-anak disini bisa bersekolah. Pembangunannya kami ajukan proposal pada zaman Bengkalis tahun 2002, kalau tidak ada kami disini siapa lagi, tidak ada yang sanggup bertahan mengajar di sini," ungkap Suardi.