
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Fitroh Rohcahyanto
RIAU1.COM - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Fitroh Rohcahyanto, mengungkapkan pihaknya telah beberapa kali merekomendasikan kepada pemerintah agar pembiayaan partai politik sebagian besar berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
"KPK sudah beberapa kali memberikan rekomendasi kepada pemerintah untuk memberikan dana yang besar bagi partai politik,” ujar Fitroh Rohcahyanto dikutip dari channel YouTube KPK, Kamis (15/5/2025) yang dimuat Beritasatu.com.
Menurutnya, pendanaan politik dari APBN bisa menjadi salah satu cara efektif mencegah praktik korupsi, mengingat biaya politik yang tinggi biasanya menjadi pemicu utama. Fitroh menambahkan jika partai politik memiliki biaya dan pendanaan yang mencukupi, kemungkinan korupsi dapat berkurang.
Fitroh menyebut rekomendasinya itu belum dilaksanakan pemerintah karena berbagai pertimbangan termasuk masalah keuangan negara.
“Hanya saja sampai hari ini apa yang direkomendasikan KPK belum dilaksanakan secara umum karena memang menyangkut keuangan," lanjutnya.
Fitroh juga mengungkapkan keyakinannya akar utama korupsi terletak pada sistem politik. Hal ini ia sebut pernah disampaikan saat dirinya menjalani uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) sebagai calon pimpinan KPK di hadapan Komisi III DPR.
"Ketika saya fit and proper test ada satu pertanyaan dari anggota Dewan 'Penyebab utama dari korupsi itu apa?' Saya dengan tegas menjawab sistem politik yang menjadi faktor utama menurut saya, sehingga terjadi korupsi yang cukup masif," tegas Fitroh.
Fitroh menyebut, pernyataannya itu memiliki dasar empiris yang kuat Ia mencontohkan, merujuk pada proses pemilihan pejabat publik dari tingkat kepala desa hingga presiden membutuhkan modal biaya politik yang sangat besar.
“Tak bisa dimungkiri, para calon pejabat publik harus mengeluarkan modal besar. Di balik itu pasti ada pemodal,” ujarnya.
Situasi tersebut, lanjutnya, menciptakan hubungan timbal balik antara pejabat publik dan para pemodal. Dari hubungan inilah, dinilai Fitroh, bibit-bibit korupsi mulai tumbuh karena ada hubungan timbal balik.
"Sering terjadi di kasus korupsi timbal baliknya ketika menduduki jabatan, tentu akan memberikan kemudahan bagi para pemodal ini untuk menjadi pelaksana kegiatan proyek-proyek di daerah, di kementerian, maupun di dinas-dinas,” pungkas Fitroh.
Sebagai informasi sumber dana partai politik diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik (UU Parpol). Pasal 34 UU Parpol menyebutkan tiga sumber dana partai politik, yakni iuran anggota; sumbangan yang sah menurut hukum; dan bantuan keuangan dari anggaran endapatan dan belanja negara/anggaran pendapatan dan belanja daerah.
Sumbangan bisa berupa uang, barang, dan/atau jasa. Sumbangan tersebut dapat diterima dari, pertama perseorangan anggota partai politik yang pelaksanaannya diatur dalam anggaran dasar (AD) dan anggaran rumah tangga (ART). Kedua, perseorangan bukan anggota partai politik, paling banyak senilai Rp 1 miliar per orang dalam waktu 1 (satu) tahun anggaran. Dan ketiga, perusahaan dan/atau badan usaha, paling banyak senilai Rp 7.500.000.000 per perusahaan dan/atau badan usaha dalam waktu 1 (satu) tahun anggaran.
Selain diatur dalam UU Parpol, pemberian dana dari APBN untuk partai politik diatur dalam PP Nomor 1 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2009 tentang Bantuan Keuangan kepada Partai Politik. Dalam kedua aturan tersebut, pemberian bantuan keuangan tahunan kepada partai politik sebesar Rp 1.000 per surat suara sah yang diperoleh pada pemilihan legislatif DPR.
Fitroh kembali menegaskan, kasus korupsi masih sering terjadi karena sistem politik yang ada saat ini masih belum berubah. "Kenapa? Karena sistem politiknya masih demikian," pungkas Fitroh terkait rekomendasi KPK soal pembiayaan partai politik dari APBN sebagai cara mencegah praktik korupsi.*