Bongku Bebas, Potensi Konflik Agraria di Riau Masih Menganga

Bongku Bebas, Potensi Konflik Agraria di Riau Masih Menganga

12 Juni 2020
Andi Wijaya

Andi Wijaya

RIAU1.COM - Koalisi Masyarakat Adat untuk Hutan dan Tanah memberikan keterangan terkait pembebasan Bongku oleh pihak Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) kelas II Bengkalis. 

Bongku Bin Jelodan, dalam keterangan pers yang diterima redaksi dinyatakan bebas pada 10 Juni 2020 lalu melalui asimilasi. Sesuai dengan Permenkumham No 10 tahun 2020 tentang syarat pemberian asimilasi dalam pencegahan dan penanggulangan penyebaran Covid-19 serta Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.HH-19.PK.0104.04 tahun 2020, tentang pengeluaran dan pembebasan melalui asimilasi dalam rangka pencegahan dan penanggulangan penyebaran Covid-19. 

Sebelumnya pada 18 Mei 2020, Majelis Hakim PN Bengkalis menghukum Bongku setahun penjara, denda Rp 200 juta karena menebang akasia-ekaliptus seluas setengah hektar di dalam konsesi PT Arara Abadi. 

Usai putusan, Bongku bersama Penasihat Hukum (PH) langsung melakukan upaya banding pada tanggal 22 Mei 2020. Namun pada tanggal 5 Juni 2020, Bongku mencabut dan tidak melanjutkan banding.

Andi Wijaya selaku Direktur LBH Pekanbaru yang sejak awal mendampingi Bongku mengatakan, pembebasan terhadap Bongku sesuai dengan Permenkumham dan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. 

"Bongku bebas karena asimilasi dan kondisi Covid-19 di Indonesia. Dan bukan karena ada indikasi lain. Bongku akan menjalani sisa tahanan luar hingga November 2020, ”kata Andi Wijaya.

Koalisi Masyarakat Adat untuk Hutan dan Tanah menambahkan, selain Suku Sakai, masih ada masyarakat adat di Riau sampai saat ini tidak bisa mengelola tanah ulayat untuk berladang dan menjaga hutan. Mereka masih berjuang untuk mendapatkan hak dengan kondisi krisis pangan dan air bersih.

Senada dengan itu, Jikalahari dan Walhi Riau melihat pembebasan Bongku masih menyisakan konflik agraria dan tenurial terhadap masyarakat adat di Riau. 

"Pengakuan terhadap wilayah masyarakat adat di provinsi Riau tidak jelas. Ini menjadi potensi kriminalisasi terhadap mereka saat mengelola ladang untuk bertahan hidup," ujar Made Ali, Koordinator Jikalahari.

"Asia Pulp and Paper (APP) melalui salah satu anak perusahaannya PT Arara Abadi telah membohongi masyarakat adat dan melecehkan hukum Indonesia. Yang dilakukan PT Arara Abadi bertentangan dengan kebijakan FCP APP. Pada komitmen 3 menyatakan keterlibatan sosial dan masyarakat. Untuk menghindari maupun menyelesaikan konflik sosial di seluruh rantai pasokannya, APP akan secara aktif meminta dan mengikutsertakan saran dan masukan berbagai pemangku kepentingan termasuk masyarakat sipil. Untuk menerapkan berberapa prinsip, yakni FPIC dari masyarakat asli dan komunitas lokal, penghormatan terhadap hak asasi manusia dan kepatuhan terhadap hukum, prinsip dan kriteria sertifikat bertaraf internasional yang relevan," papar dia Made dalam keterangan tersebut.

Sementara itu, Direktur Walhi Riau Riko Kurniawan menyebutkan terkait pembebasan Bongku bukan karena kebaikan jaksa, hakim dan PT Arara Abadi, atau siapapun.  Namun karena aturan yang ada.

"Bongku hanya bebas dalam proses hukumnya. Dia belum bebas dalam mengelola ladangnya sendiri di tanah ulayat masyarakat adat sakai," katanya.

"Konflik antara PT Arara Abadi dan masyarakat Adat Suku Sakai sudah lama terjadi karena izin PT Arara Abadi terbit di atas tanah peladangan yang sudah lama dioleh oleh masyarakat Suku Sakai," tambahnya.

Sambung dia lagi, pada tahun 2016,  Pansus Monitoring dan Identifikasi Sengketa Lahan Kehutanan dan Perkebunan di kabupaten Bengkalis  DPRD Bengkalis menyatakan bahwa di Kecamatan Mandau dan Pinggir terjadi sengketa lahan. Sengketa lahan terjadi di 5 desa, yakni Desa Tasik Serai Timur, Melibur, Tasik Serai, Beringin dan Serai Wangi dengan PT Arara Abadi dan PT RAL. 

"Pansus merekomendasikan meminta pemerintah Pemkab Bengkalis mencabut atau sekurang-kurangnya meninjau SK Menhut RI izin PT Arara Abadi seluas 44.138 ha. Serta meninggalkan tanah adat milik masyarakat persukuan sakai yang saat ini ditanami bongku seluas 7.500 ha di Kecamatan Pinggir. Namun hingga kini belum ada kejelasan dari rekomendasi Pansus," katanya.

Terang dia, jika tidak ada jaminan secara legalitas hukum dimasa depan terhadap hak wilayah masyarakat adat, konflik tanah antara sakai dan PT Arara Abadi dipastikan akan muncul kasus bongku-bongku yang baru. rilis