Pengadilan Jerman Larang Perempuan Muslim Berjilbab Menjadi Hakim dan Jaksa

4 Desember 2025
Ilustrasi/Net

Ilustrasi/Net

RIAU1.COMPengadilan Jerman telah menetapkan bahwa seorang perempuan Muslim yang menolak melepas jilbabnya selama persidangan tidak dapat menjabat sebagai hakim atau jaksa. Langkah ini menurut para kritikus melemahkan kebebasan beragama.

Pengadilan tata usaha negara di Hesse mengumumkan putusannya pada hari Senin lalu, menguatkan keputusan pihak berwenang yang menolak permohonan perempuan tersebut. 

Dalam sebuah pernyataan, pengadilan Darmstadt mengakui bahwa kebebasan beragama pengacara tersebut memiliki bobot konstitusional yang signifikan. Namun, pengadilan memutuskan bahwa hak ini dikesampingkan oleh prinsip-prinsip konstitusional yang bertentangan, termasuk netralitas negara dan kebebasan beragama peserta persidangan.

Menurut pernyataan pengadilan, perempuan tersebut ditanya selama wawancara permohonannya apakah ia akan melepas jilbabnya saat berinteraksi dengan peserta persidangan.

Perempuan Muslim itu dengan jelas mengatakan tidak akan melakukannya. Pihak berwenang Hesse menolak permohonannya, dengan alasan bahwa mengenakan pakaian yang simbolis secara keagamaan selama persidangan melanggar prinsip netralitas negara dan dapat melemahkan kepercayaan publik terhadap imparsialitas sistem peradilan, dikutip Republika.co.id dari laman Daily Sabah, Kamis (4/12/2025).

Pada bulan Oktober, sebuah pengadilan di Niedersachsen mengeluarkan putusan serupa terhadap seorang perempuan yang berupaya menjadi hakim awam dengan mengenakan jilbab. 

Pengadilan Tinggi Regional Braunschweig memutuskan bahwa hukum negara bagian melarang hakim untuk secara jelas menampilkan simbol-simbol yang mencerminkan pandangan politik, agama, atau ideologis selama persidangan, sebuah pembatasan yang juga berlaku bagi hakim awam.

Para pendukung kebebasan beragama mengkritik putusan terbaru ini di media sosial, dengan alasan bahwa interpretasi Jerman tentang netralitas negara telah menjadi alat diskriminasi, alih-alih imparsialitas.

Para kritikus mengatakan putusan semacam itu secara tidak proporsional memengaruhi perempuan Muslim dan menciptakan hambatan signifikan terhadap partisipasi mereka dalam profesi hukum dan pelayanan publik.*