Pemko Batam Kecewa Warga Tolak Pembangunan Puskesmas Pembantu

16 Agustus 2025
Spanduk penolakan pembangunan Puskesmas Pembantu di Batam

Spanduk penolakan pembangunan Puskesmas Pembantu di Batam

RIAU1.COM - Niat baik Pemerintah Kota Batam membangun Puskesmas Pembantu (Pustu) di lahan fasilitas umum (fasum) milik pemerintah justru menuai gelombang penolakan dari sebagian warga Perumahan Grand Jaelynne, Kelurahan Sagulung Kota. 

Padahal, pembangunan ini sudah memiliki legalitas jelas, anggaran dari Dana Alokasi Khusus (DAK) pemerintah pusat telah disiapkan, dan proyek ini masuk dalam Program Integrasi Layanan Primer (ILP) Kementerian Kesehatan.

Kepala Dinas Kesehatan Kota Batam, dr. Didi Kusmarjadi, SpOG, mengatakan Pustu dirancang untuk memperluas jangkauan layanan kesehatan dasar bagi masyarakat, terutama di wilayah padat penduduk atau yang jaraknya jauh dari puskesmas induk.

“Ini bukan proyek sembarangan. Ada payung hukum yang kuat, ada alokasi anggaran dari pusat, dan ini bagian dari target nasional pemenuhan Standar Pelayanan Minimal (SPM) bidang kesehatan,” ujarnya, Jumat (15/8) yang dimuat Batampos.

Meski manfaatnya besar, sebagian warga justru menolak dengan alasan khawatir terjadi kemacetan, kebisingan, atau munculnya pasien dari luar perumahan. Ada pula yang beranggapan keberadaan Pustu tidak dibutuhkan karena puskesmas induk relatif dekat.

Didi menilai kekhawatiran tersebut keliru. Ia menjelaskan, Pustu bukan rumah sakit besar yang ramai kendaraan atau antrean panjang. Fungsinya lebih sederhana, yakni pelayanan kesehatan cepat tanggap seperti pemeriksaan dasar, imunisasi, penanganan awal penyakit, serta edukasi kesehatan.

“Justru dengan Pustu, warga tidak perlu menempuh jarak jauh untuk mendapat layanan kesehatan dasar. Waktu penanganan bisa lebih cepat, apalagi dalam situasi darurat,” tegasnya.

Integrasi Layanan Primer adalah program nasional untuk memperkuat pelayanan kesehatan tingkat pertama. Dalam konsepnya, ILP menggabungkan berbagai layanan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif dalam satu sistem yang terhubung.

Ada lima kluster layanan utama yang dijalankan ILP yakni kesehatan ibu dan anak, pengendalian penyakit menular, pengendalian penyakit tidak menular, kesehatan lingkungan dan kesehatan gizi dan perilaku sehat.

Pustu, sebagai perpanjangan tangan puskesmas induk, menjadi titik layanan strategis. Selain pemeriksaan dan imunisasi, Pustu juga menjadi pusat data kesehatan warga yang terhubung dengan sistem informasi nasional.

“Idealnya, setiap kelurahan memiliki minimal satu Pustu. Untuk wilayah padat, bahkan bisa satu kelurahan satu puskesmas induk,” kata Didi.

Menurut Didi, pembatalan proyek Pustu akan membawa konsekuensi serius, baik dari sisi keuangan, hukum, maupun reputasi daerah.

Pertama, sesuai Peraturan Menteri Keuangan No. 112/PMK.07/2022, DAK yang tidak terealisasi wajib dikembalikan ke kas negara. Kedua, berdasarkan Pasal 1243 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), pembatalan sepihak terhadap proyek yang sudah dilelang dapat memicu gugatan ganti rugi dari kontraktor yang telah menyiapkan material dan tenaga kerja.

“Ketiga, Pemda berisiko dinilai gagal memenuhi SPM sesuai Permenkes No. 6 Tahun 2024. Ini bisa mempengaruhi penilaian kinerja daerah oleh pemerintah pusat,” jelasnya.

Didi mengajak masyarakat untuk melihat Pustu sebagai investasi jangka panjang di bidang kesehatan. Menurutnya, fasilitas ini akan memberi manfaat bukan hanya bagi warga saat ini, tetapi juga generasi berikutnya.

“Menolak Pustu sama saja menutup pintu kemudahan berobat, memperlambat respon darurat, dan merugikan diri sendiri. Jangan sampai prasangka membuat kita kehilangan kesempatan yang sudah ada di depan mata,” ujarnya.

Ia menekankan pentingnya kolaborasi antara pemerintah, kader kesehatan, dan tokoh masyarakat untuk memberikan penjelasan yang jujur dan membumi tentang manfaat fasilitas kesehatan.

“Pustu adalah milik kita semua tempat yang kelak bisa menyelamatkan nyawa tetangga, keluarga, bahkan diri kita sendiri,” tutupnya.*