Sisa Karhutla dan Jejak Penyelamatan Hutan Sungai Tohor

Sisa Karhutla dan Jejak Penyelamatan Hutan Sungai Tohor

7 Desember 2020
Petugas Manggala Agni tengah melakukan proses pendinginan pada lahan gambut yang terbakar di Dumai, Riau (Foto: Azhar Saputra/Riau1.com)

Petugas Manggala Agni tengah melakukan proses pendinginan pada lahan gambut yang terbakar di Dumai, Riau (Foto: Azhar Saputra/Riau1.com)

Bagai Ayam Mati di Lumbung Padi, peribahasa ini cocok menggambarkan kondisi warga Desa Sungai Tohor, Kepulauan Meranti, Riau. Hutan desa yang berhasil direbut dengan susah payah tak bisa dimanfaatkan dengan baik setelah bencana karhutla 2014. Terakhir kawasan yang dikelola masyarakat kini jadi incaran empuk pembalakan kayu liar.

RIAU1.COM - Sebutan Riau berasap Maret 2014 tak terelakkan. Itu karena hampir seluruh wilayahnya diselimuti kabut asap dan titik api dampak dari kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Titik panas yang terpantau pada citra satelit NOAA pada 1 Maret 2014 sampai dengan 23 Maret 2014 mencapai 1.398 titik. Dinas Kehutanan Provinsi Riau mencatat sampai 14 Maret 2014 sekitar 2.123 hektare hutan dan lahan terbakar. Sementara Manggala Agni melaporkan sebanyak 5.434 hektare hutan konservasi terbakar hingga 29 Maret 2014.

Data citra satelit ini pun diperkuat dengan analisa data peta platform Global Forest Watch. Sejak 20 Februari hingga 11 Maret 2014 merekam adanya 3.101 titik api dengan selang kepercayaan di atas 70 persen berada di Pulau Sumatera. Melebihi 2.643 total jumlah peringatan titik api pada 13-30 Juni 2013.

Salah satu wilayah yang paling terdampak dari bencana saat itu adalah Desa Sungai Tohor, Kecamatan Tebing Tinggi Timur, Kepulauan Meranti, Riau. Menggunakan data geospasial milik NASA Worldview, kebakaran di desa sudah mulai terlihat dari tanggal 2 Maret dengan 10 titik. Lalu berkurang di tanggal berikutnya. Kemudian muncul lagi pada 4 Maret dengan 27 titik. Meningkat tajam di tanggal 6 Maret dan mulai berkurang pada 15 Maret 2014.

Derita mereka bermula setelah Kementerian Kehutanan mengizinkan PT Lestari Unggul Makmur (PT LUM) pada 2007 mengolah 11.245 hektare hutan untuk dijadikan sebagai lahan konsesi kayu pulp.

Mereka memberikan izin kepada perusahaan ini untuk menebangi hutan alam dan menanami kembali lahan bekas tebangan yang telah dibakar untuk ditanami perkebunan monokultur jenis pohon yang tumbuh lebih cepat.

Tersebar hingga keenam desa lain di luar Sungai Tohor seperti Sungai Tohor Barat, Nipah Sendanu, Sendanu Dahrul Iksan, Tanjungsari, Lukun dan Kapau Baru dengan luasan baragam. Kondisi ini masih dapat dilihat melalui peta berbasis daring milik koalisi organisasi non-pemerintah, Eyes on the Forest. Meskipun saat ini izin perusahaan itu sudah dicabut pada 2015 dan pengelolaannya baru diserahkan pada rakyat dua tahun kemudian.

"Kebakaran di Tohor mulai terjadi pada Januari 2014 setelah PT LUM membuat kanalisasi di desa kami. Mereka sudah memulainya sejak tahun 2009. Awalnya dibuat sama dengan ukuran badan jalan (50 meter) yang dibuat pemda pada 2007. Setelah itu kanal PT LUM makin dibuat lebih besar hingga mengeluarkan air dan menyatu dengan kanal milik pemda," terang salah satu warga Sungai Tohor Abdul Manan.

Menurut Cik Manan (panggilan akrab Abdul Manan) kanal yang dibuat perusahaan membuat air tanah terbuang dengan cepat menuju ke lautan. Akibatnya gambut menjadi kering dan mudah terbakar. Tanpa mereka sadari peristiwa ini terus terjadi hingga memasuki tahun 2014 ditambah peristiwa karhutla serupa yang menimpa wilayah Riau lain. Berdekatan dengan lokasi desa seperti Tebing Tinggi Timur, Kabupaten Siak dan Kabupaten Pelalawan.

Gambut desa benar-benar mengalami kekeringan. Selama lima tahun itu perlahan korban mulai berjatuhan akibat karhutla. Masyarakat terpapar asap, ekonomi lumpuh, proses belajar-mengajar terganggu, tanaman kehidupan satu persatu mati hingga hampir semua lahan menggundul. Menurutnya, di 2014 itu gambut Tohor terbakar hingga kedalaman 1 meter. Jalan yang dibuat dari semen bahkan nyaris seperti mau ambruk karena tak ada lagi tempat berpijak.

Kepala Badan Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB) Syamsul Maarif melalui edisi pertama majalah GEMA BNPB Mei 2014 menyebutkan karhutla di Riau saat itu adalah yang terparah. Mereka berpatokan dari indikator kualitas udara yang diukur melalui Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU). Selama bulan Maret 2014 sebanyak 49.591 orang di Riau menderita penyakit seperti ISPA, pneumonia, asma, iritasi mata dan kulit.

Dalam laporan organisasi lingkungan hidup Greenpeace Indonesia, bertema, Greenpeace Indonesia, Karhutla dalam Lima Tahun Terakhir: Omnibus Law Hadiah Impunitas Bagi Pembakar di Sektor Perkebunan Terbesar, hutan dan lahan yang terbakar sampai 14 Maret 2014 mencapai 2.123 hektare. Lolasi terluas peristiwa kebakaran hutan terjadi pada kawasan perusahaan pengolah bubur kertas dengan luas 652 hektare, menyusul di kawasan konservasi seluas 5.434 hektare hingga 29 Maret 2014.

Greenpeace Indonesia menyebutkan Karhutla disebabkan praktik paling mudah dan murah yang dilakukan oleh perusahaan, yakni dengan tebang dan bakar. Metode tebang dan bakar yang diadopsi dalam skala luas oleh korporasi kelapa sawit dan pemegang izin HTI, mengakibatkan masalah karhutla meluas semakin tak terkendali, terutama ketika kebakaran terjadi di lahan gambut.

Masih merujuk pada sumber yang sama, untuk perusahaan kelapa sawit 10 korporasi diduga telah menjadi biang karhutla di Indonesia. Terhitung selama 2015-2019 terjadi kebakaran di area konsesi mereka sendiri. Sembilan dari 10 perusahaan tersebut memiliki area signifikan atau di atas 5 persen yang terbakar lebih dari sekali.

Empat dari lima perusahaan dengan area paling luas di tahun 2015-2019 juga menurut mereka merupakan bagian dari lima pelanggaran terbesar di tahun 2019. Greenpeace Indonesia menilai tak ada satupun dari mereka yang menerima sanksi dari pemerintah. Padahal secara keseluruhan, api telah membakar 67 ribu hektare lebih atau setara dengan 26 persen total luasan area (253.200 hektare) kebun kelapa sawit yang terbakar di 10 perusahaan.

Kondisi serupa juga terjadi terhadap perusahaan bubur kertas dimulai dari tahun 2015-2019. Kebakaran berulang setiap tahun di area konsesi. Mereka juga dianggap tidak mendapatkan sanksi tegas dari pemerintah.

Data terakhir menunjukkan di tahun 2019, terdapat 86 ribu hektare lebih lahan terbakar atau setara dengan 47 persen total area terbakar di seluruh konsesi bubur kertas di 10 perusahaan.

Ketua Lembaga Pengelolaan Hutan Desa (LPHD) Sungai Tohor, Zamhur mengatakan pada Maret 2014 itu secara bergantian warga tanpa bantuan perusahaan menginap di hutan untuk memadamkan api yang sudah menjadi bara dalam gambut. Bahkan beberapa kali dirinya dan warga lainnya tidak pulang untuk memastikan api padam.

Kebakaran terus terjadi hingga memasuki bulan April 2014. Bertepatan dengan pemilihan legislatif serentak di Indonesia. Upaya pemadaman terus dilakukan hingga akhirnya api baru padam dengan turunnya hujan. Tambahnya, peristiwa itu merupakan cikal bakal lahirnya istilah sekat kanal yang saat ini diadopsi di seluruh Indonesia.

"Saat terjadi kebakaran itu kami kewalahan dan panik. Di saat itu muncul ide bagaimana air yang ada di dalam parit bisa dibendung. Awalnya kami buat dari terpal. Pas air melimpah kami buat parit kecil lagi agar airnya bisa masuk ke dalam hutan. Sampai di situ api padam," ceritanya.

"Artinya air ini harus kita tahan. Dari situ kami membuat tebat, kalau sekarang namanya sekat kanal. Awal peristiwa itu ada tiga buah tebat yang dibuat secara swadaya menggunakan kayu mahang dan kayu uyung (kulit sagu). Saya rasa dari situ nama sekat kanal mulai dikenal," terangnya.

Satgas Operasi Terpadu Penanggulangan Bencana Asap yang diberi tugas oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat itu mengaku baru berhasil menjalankan tugas setelah tiga minggu bekerja. Terhitung dari 14 Maret 2014 hingga 4 April 2014. Indikator patokan keberhasilan yang diklaim itu seperti jumlah titik panas, jarak pandang, kualitas udara, curah hujan, pantauan titik api dan asap dari Sub Satgas Darat.

Tanah di Sungai Tohor baru perlahan pulih setelah Presiden Joko Widodo menginjakkan kakinya di desa dengan memberikan uang tunai Rp300 juta untuk membangun satu sekat kanal permanen (terbuat dari semen) dan 12 sekat lainnya dari bahan kayu di tahun yang sama. Berkat sekat kanal juga, sampai saat ini tak ada lagi kebakaran parah di desa dan gambut perlahan pulih.

Menolak Kehadiran Perusahaan

Tak hanya direpotkan dengan urusan kekeringan gambut, asap dan karhutla. Di awal kedatangannya, warga Sungai Tohor tidak senang dengan kehadiran PT Lestari Unggul Makmur (PT LUM) yang mendapatkan izin operasional tahun 2007. Dibuktikan dengan menolak aktivitas pembukaan lahan dan pembangunan kanal-kanal raksasa pada 2009.

"Kami mendampingi warga desa sejak mendengar aksi penolakan itu (2009). Sampai saat ini kami masih terus mendampingi warga desa," terang salah satu staf Walhi Riau, Fandi Rahman.

Alasan mereka mendampingi agar masyarakat dapat mempertahankan wilayah kelola dan ekosistem rawa gambut dari sumber penghidupan yang sebagian besar adalah petani sagu. Walhi Riau mengaku tak bekerja sendiri, mereka juga melibatkan pihak lain termasuk seniman dan musisi nasional untuk mengkampanyekan penyelamatan lahan gambut dengan menggelar konser musik, penanaman pohon, hingga melakukan diskusi yang mereka sebut dengan ring of fire, Festival Sagu Sungai Tohor 2014 melibatkan Ikhsan Skuter dan Yoseph, Fadly Padi Band, Rindra Padi Band, dan Melani Subono.

Namun perusahaan seperti tak menanggapi, mereka terus bekerja siang-malam hingga gambut desa mengalami kekeringan dan rusak. Berdasarkan hasil investigasi Eyes on the Forest yang dipublikasikan pada Februari 2010, perubahaan tutupan lahan yang dilakukan oleh PT LUM awalnya dengan membuat saluran atau kanal dengan panjang 10 kilometer, lebar 12 meter dan kedalaman lima meter.

Kanal-kanal itu berdiri di atas tanah gambut milik warga dengan kedalaman 2-4 meter. Dibuat untuk mempermudah memasukkan bibit, logistik dan kebutuhan lainnya. Kejadian itu diketahui saat mereka belum menemukan area hutan alam yang telah dikonversi. Masih di tahun yang sama, operasional perusahaan sempat terhenti karena mendapatkan penolakan dari masyarakat. Namun, di sebagian wilayah lainnya masih tetap berjalan hingga akhirnya perusahaan dapat beroperasi dengan menebangi kawasan lindung nasional dengan target tebangan 262.837 m3 kayu alam.

Puncaknya terjadi kebakaran hebat di 2014 hingga memasuki pergantian presiden yang dimanfaatkan warga dengan membuat petisi online. Hingga akhirnya Presiden Jokowi yang belum bekerja 30 hari langsung mengunjungi Sungai Tohor. Berkat kedatangan presiden itu juga izin PT LUM dicabut dan diberikan kepada tujuh desa.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencabut izin Hutan Tanaman Industri (HTI) akasia PT LUM pada 23 Desember 2016 namun baru diserahkan ke masyarakat pada 2017. Alhasil, konsesi seluas 10.390 hektare itu kembali menjadi milik masyarakat. Satu dari tujuh wilayah yang mendapatkan bagian itu adalah Sungai Tohor dengan hak kelola hutan desa seluas 2.940 hektare.

Luasan itu terbagi lagi menjadi beberapa bagian seperti blok perlindungan seluas 1.354 hektare, blok pemanfaatan hasil hutan bukan kayu 1.025 hektare dan blok pemberdayaan sebesar 561 hektare. Tak hanya itu, Sungai Tohor juga memiliki 1.534 hektare lahan yang dianggap belum dimanfaatkan dari total 9.500 hektare luasan desa.

Sayang, hingga kini hutan desa itu tak dimanfaatkan dengan baik. Bahkan kehadirannya berkaitan dengan aksi illegal logging," Setelah ada izin perhutanan sosial itu kan dilanjutkan dengan menyusun rencana pengelolaannya. Dari situ warga tak dibekali dengan modal. Modal berguna untuk merealisasikan rencana kelola warga. Seperti bibit, atau beternak lebah madu hingga kopi," jelas staf Walhi Riau Fandi.

Bahkan saat ditemui pada September 2020, Kepala Desa Sungai Tohor Efendi mengaku tidak tahu lagi harus berbuat apa untuk mengelola hutan desa agar lebih produktif dan tidak lagi menjadi sasaran empuk pelaku pembalakan liar.

"Feeling saya kemarin itu saat diberikan hak kelola perhutanan sosial, desa ini akan menjadi maju. Ternyata terbalik kenyataannya. Saya sampaikan, pemerintah hanya setengah-setengah. Untuk apa diberi sementara wewenang tidak ada. Mengolah sendiri, disuruh kita menanamnya, menunggu kayu besar baru bisa dipanen, mau tunggu berapa lama? Pikiran saya kemarin itu seperti perusahaan. Pemerintah memberi kewenangan ke desa dan dapat menjadikan nilai ekonomi," sesalnya.

Tak hanya hutan desa, Efendi juga mengeluhkan Sentra Sagu Terpadu atau yang lebih dikenal dengan Sentra Industri Kecil Menengah yang dikelola satu pintu bersama koperasi berbasis pemberdayaan masyarakat. Sentra ini digadang-gadang bakal meningkatkan ekonomi warga setelah kedatangan Jokowi pada 2014, namun belum juga dioperasikan sampai tulisan ini dibuat pada 19 Oktober 2020.

Padahal pabrik ini berguna sebagai pemasukan baru warga karena mampu menyerap produksi sagu di 14 kilang Sungai Tohor dan mengolahnya menjadi sagu kering dan turunannya seperti mi, kerupuk, beras, gula dan pangan lainnya.

Menurutnya kendalanya kembali pada besarnya modal yang dibutuhkan, “ Kalau hanya menelan biaya Rp1-Rp2 juta, sudah jalan (Sentra Sagu Terpadu). Kita akan mengambil bahan baku di 14 kilang itu. Kalau 700 ton saja sebulan x Rp2 ribu/kg sagu sudah Rp1,4 miliar, diolah dan diantar. Itu untuk sekali dan duitnya belum masuk. Sementara sagu ini masuk lagi. Coba, duit dari mana, tak mampu kita kalau sendiri seperti itu," jelasnya.

Khusus untuk perhutanan sosial, Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan (KKPH) Tebing Tinggi, Sri Irianto mengaku dalam waktu dekat akan merangkul warga dan mencoba mencari alternatif lainnya seperti skema baru agar warga dan pemerintah dapat memanfaatkan keberadaan hutan desa.

"Sebetulnya yang masih menjadi masalah sampai saat ini yaitu kawasan hutan itu mestinya memberikan akses legal untuk kegiatan masyarakat. Akses legal itu ada penerimaan negara yang disetorkan oleh masyarakat yang berkegiatan di situ. Selama ini kan tidak ada," terangnya.

"Misalnya ada beberapa perizinan yang sudah terbit namun dalam operasionalnya ada kendala akhirnya tidak bisa berjalan. Seperti LPHD di Sungai Tohor itu saya katakan belum operasional. Padahal ada perizinannya. Itu nanti akan menjadi prioritas kami," tegasnya.

Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Riau Mamun Murod meminta waktu untuk menyelesaikan semua permasalahan ini. Termasuk semua pencapaian yang ada di bawah jajarannya. Hal itu lantaran dia baru saja dilantik pada Senin, 15 Juni 2020 menggantikan pejabat sebelumnya, Ervin Rizaldi.

"Tentunya saya sebagai pejabat baru akan mempelajari dulu sampai sejauh mana pelaksanaan perhutanan sosial saat ini. Namun intinya, saya akan mencoba untuk menyelesaikan segala persoalan terkait perhutanan sosial ini," terangnya.