Pimpin Koalisi Jawa-Tionghoa, Sunan Kuning Jebol Keraton Kartasura dan Pakubuwana II Diselamatkan VOC

13 Oktober 2019
Pakubuwono II, musuh Sunan Kuning. Foto: Wikimedia Commons.

Pakubuwono II, musuh Sunan Kuning. Foto: Wikimedia Commons.

RIAU1.COM -Apa yang Anda lakukan saat berumur 16 tahun? Di usia yang sama, Sunan Kuning sudah memimpin koalisi etnis Jawa dan Tionghoa untuk menggebuk Raja yang 'berselingkuh' dengan penjajah.

Dilansir dari Detik.com, Minggu (13/9/2019), mengatakan, 'Serat Babad Tanah Jawi' menjelaskan perihal kondisi Kesultanan Mataram (Keraton Kartasura) sekitar tahun 1740-an. Saat itu Sang Raja lebih memihak ke Kompeni Belanda ketimbang ke bangsanya sendiri. Para bangsawan Jawa tidak terima dengan pilihan politik Sang Raja.

"Para priyagung Jawa kang sengit marang Walanda lestari mbiyantu Cina, dadi mungsuh ratune dhewe," demikian tertulis dalam 'Serat Babad Tanah Jawi' yang versi gancaran (prosa Jawa) Ngabehi Kertaprajda, ditulis atas inisiatif JJ Meinsma tahun 1874.

Artinya, para elite Jawa yang membenci Belanda kemudian bekerjasama dengan Cina, menjadi musuh atas Ratu Jawa sendiri. Begitulah kondisi politik saat itu.

Nama asli Sunan Kuning adalah Raden Mas (RM) Garendi, lahir pada tahun 1726. Dia adalah putra bungsu dari Pangeran Teposono, atau cucu dari Amangkurat III.

Masa kecilnya sudah diwarnai politik berdarah. Ayahnya, Pangeran Teposono, terbunuh karena konflik internal kerajaan.

Usai ayahnya tewas, Garendi dibawa lari menyelamatkan diri meninggalkan Keraton Kartasura oleh pamannya bernama Wiramenggala. Mereka melintasi Gunung Kemukus hingga sampai Grobogan.

Di lokasi itu, rombongan pelarian Kartasura berjumpa dengan keluarga Tionghoa, He Tik. Garendi lantas dipungut anak oleh He Tik. Hal itu dijelaskan oleh Kanjeng Raden Mas Haryo (KRMH) Daradjadi Gondodiprodjo dalam bukunya, 'Geger Pacinan 1740-1743: Persekutuan Tionghoa-Jawa Melawan VOC'.

Belum ada gambar atau foto sosok Garendi yang ditemukan. Namun dalam Babad Kartasura II dijelaskan perihal deskripsi fisik Garendi. Dia disebut sebagai remaja ganteng yang populer dan banyak penggemar.

"Akan halnya Raden Mas Garendi, memang rupawan. Kebagusannya sudah terkenal di mana-mana, apalagi banyak ceritera-cerita yang turut meramalnya. Bahwasannya seorang bangsawan yang bijaksana, lagi pula baik hatinya. Adalah tidak mustahil, banyak yang turut senang, melihat Raden Mas Garendi," demikian keterangan dalam Babad Kartasura II terbtan Balai Pustaka.

Musuh Sunan Kuning ada dua, yakni VOC dan Raja Mataram saat itu, Sri Susuhunan Pakubuwana II. Pada awalnya, Pakubuwana II adalah Raja yang melawan VOC alias kompeni. Dia pernah meminta pejabat dan bupati bersumpah setia serta bersiap mengusir kompeni keluar Tanah Jawa.

Di masa kepemimpinannya, pasukan Mataram menyerang Benteng Kompeni di Kartasura pada 1741. Tercatat 10 prajurit kompeni tewas di dalam dan sekitar benteng.

Peristiwa itu menandai konflik terbuka antara Kerajaan Mataram dan kompeni. Pakubuwana juga memerintahkan patihnya mengirim pasukan untuk membantu laskar Tionghoa mengepung VOC di Semarang.

Saat itu adalah masa-masa Geger Pacinan, rangkaian peperangan yang disebut-sebut lebih besar daripada Perang Diponegoro pada dua dekade sebelumnya. Geger Pacinan diawali dengan pembantaian 10 ribu orang Tionghoa oleh VOC di Batavia (sekarang Jakarta). Horor penyembelihan manusia oleh manusia itu menyulut pemberontakan melawan VOC.

Pemimpin pemberontakan dari pabrik gula di Gandaria, Batavia, adalah Souw Phan Ciang/Khe Panjang yang kemudian dikenal sebagai Kapitan Sepanjang. Dia lari sampai Semarang dan bergabung dengan laskar Tionghoa pimpinan Singseh (Tan Sin Ko).

Kapitan Sepanjang dan Singseh berperang melawan VOC, mendapat bantuan pasukan dari Pakubuwono II. Namun, kemenangan sulit diraih, bahkan VOC mengklaim sebagai pihak yang menang.

Namun, Pakubuwana II berubah sikap 180 derajat dari yang semula melawan kompeni menjadi memihak kompeni. Dukungan Mataram ke pemberontak Tionghoa dicabut di awal tahun 1742.

Perubahan sikap itu dilatarbelakangi Pakubuwana II yang khawatir dilengserkan dari takhta Raja Mataram bila terus melawan VOC. Soalnya, VOC memang dikenal jago bikin intrik politik.

Di sisi lain, para ningrat juga banyak yang mengincar kedudukan Pakubuwana II. Sejak saat itu, perang melawan Pakubuwana II dan VOC berkobar.

Di Grobogan, Raden Mas Garendi menghimpun kekuatan. Tiga brigade Jawa dan tiga brigade Tionghoa dikumpulkan. Mereka membuat rencana yang amat sangat besar: menyerang Keraton Kartasura tempat Pakubuwana II bertakhta.

Berikut adalah pihak-pihak yang mendukung Garendi, remaja di bawah 17 tahun yang ingin merobohkan kekuasaan Raja pro-penjajah:

-Patih Notokusumo, bawahan Pakubuwana II yang memilih mendukung Garendi dan pasukan Tionghoa
-Bupati Grobogan Martapuro
-Bupati Pati Mangunoneng
-Singseh, pemimpin laskar Tionghoa dari Tanjung Welahan (dekat Demak)
-Kapitan Sepanjang, pemimpin pemberontakan Tionghoa dari Batavia.

Rapat pindah ke Pati, Jawa bagian tengah, 6 April 1742. Mereka membahas soal siapa yang harus menggantikan Pakubuwana II.

Singseh mengusulkan agar Bupati Grobogan Martapuro saja yang diangkat menjadi Raja Mataram, Kapitan Sepanjang setuju dengan usul Singseh. Namun Bupati Pati Mangunoneng tidak setuju karena Martapuro tidak memiliki wahyu, bobot (kepantasan), dan bibit (asal-usul) untuk menjadi Raja Mataram.

He Tik mengusulkan agar Garendi yang menjadi raja pengganti Pakubuwana II. Soalnya, Garendi adalah cucu Raja Mataram Amangkurat III.

He Tik sendiri adalah orang tua angkat Garendi. Kapitan Sepanjang sempat khawatir Garendi bakal berkhianat karena kerabat Keraton biasanya berkhianat, seperti Pakubuwana II yang semula melawan VOC menjadi sahabat VOC. Namun akhirnya, semua bersepakat, Garendi-lah yang menjadi Raja Mataram.

Anak usia 16 tahun itu diberi gelar Sunan Amangkurat V Senopati Ing Alaga Abdurrahman Sayidin Panatagama (Panglima Perang, Hamba dari Maha Pengasih Selaku Pemimpin Agama). Dituliskan Daradjadi, dalam upacara itu hadir para ulama di samping kanan Amangkurat V dan panglima berbusana Tionghoa di samping kirinya.

"Seorang Raja yang ingkar janji (Pakubuwana II) tidak bertuah lagi, gebuklah dia pasti akan kabur," ujar Garendi yang kini menjadi Amangkurat V.

Garendi kemudian dijuluki sebagai Sunan Kuning oleh para pengikutnya. Selain karena banyak pengikutnya yang berkulit kuning (Tionghoa), juga karena orang Tionghoa menyebutnya sebagai 'cun ling' atau 'bangsawan tertinggi'.

Sejak saat itu, pertempuran demi pertempuran dilakoni oleh koalisi Jawa-Tionghoa. Mei 1742, komposisi pasukan Jawa-Tionghoa terdiri dari seribu prajurit Jawa dan seribu prajurit Tionghoa. Perkembangan selanjutnya, komposisi pasukan Jawa menjadi lebih banyak ketimbang Tionghoa.

Pada Juni 1742, Sunan Kuning dan pasukannya menuju Kartasura. Laskar Tionghoa dipimpin panglimanya bernama Entik, Macan, dan Pibulung. Laskar Jawa di bawah komando Kertawirya, Wirajaya, dan Martapuro.

"Sunan yang masih remaja tersebut dikawal oleh Patih Mangunoneng, Kapitan Sepanjang, dan Singseh. Mereka bertempur di Salatiga hingga Boyolali," tulis Daradjadi.

30 Juni 1742, pasukan Sunan Kuning menjebol Keraton Kartasura, menjebol dalam arti sebenarnya. Jebolan tembok Istana itu bahkan bisa dilihat sampai sekarang.

Konon, tembok Istana itu berhasil dilubangi karena pasukan Sunan Kuning menggunakan meriam. Orang Tionghoa merupakan ahli dalam urusan mesiu.

Suasana Keraton Kartasura mendadak kacau dan luluh lantak karena digeruduk pasukan Jawa-Tionghoa. Pakubuwana II dan keluarganya melarikan diri dari keraton lewat pintu belakang.

Mereka semua dievakuasi oleh Kapten Van Hohendorff bersama pasukan VOC. Mereka mengungsi ke arah Magetan via Gunung Lawu.

"1 Juli 1742, Sunan Amangkurat V alias Sunan Kuning bertakhta di Kartasura," demikian tulis Daradjadi.

Ada candrasengkala (kata-kata penanda waktu dalam tradisi Jawa) berbunyi 'Pandito enem angoyog jagad'. Maknanya, seorang Raja Mataram telah kehilangan keratonnya. Namun bisa juga, diartikan 'Pempimpin muda mengguncang dunia/jagat'.

Kabinet Sunan Kuning dibentuk. Mangunoneng diangkat menjadi Patih. Martapuro diangkat menjadi pelaksana harian komando pertempuran dengan nama Sujonopuro. Raden Mas Said Suryokusumo alias Pangeran Prangwadana (dikemudian hari dijuluki sebagai Pangeran Samber Nyawa) diangkat sebagai Panglima Perang. Raden Mas Said sudah menerima pelatihan perang dari Kapitan Sepanjang.

Namun kekuasaan Sunan Kuning sebagai Raja Mataram tak berlangsung lama. Pada 26 November 1742, Sunan Kuning harus beranjak dari kursi Raja karena digempur oleh tiga pihak sekaligus: pasukan Pakubuwana II, pasukan VOC, dan pasukan Cakraningrat IV dari Madura.