Bisa Bahaya, WHO Tidak Sarankan Indonesia Deteksi Kasus Corona Lewat Rapid Test

Bisa Bahaya, WHO Tidak Sarankan Indonesia Deteksi Kasus Corona Lewat Rapid Test

23 April 2020
Ini gambaran alat Rapid Test yang tidak disarankan WHO untuk deteksi virus corona.

Ini gambaran alat Rapid Test yang tidak disarankan WHO untuk deteksi virus corona.

RIAU1.COM -  WHO tidak menyarankan Indonesia deteksi virus corona dengan menggunakan alat Rapid Test. Tidak akurat dan bisa berbahaya. 

Yang disarankan adalah Tes Swab PCR.

 

Ilmuwan dan ahli  epidemiologi, Indonesia,  Dicky Budiman,  setuju dengan WHO.  Tes swab atau Polymerase Chain Reaction (PCR),  merupakan standar teratas (gold standard) untuk mendeteksi kasus Covid-19. Bukan rapid test. 

Ia mengatakan rapid test anti bodi memiliki tingkat akurasi yang rendah dan bisa menyebabkan false positive maupun false negative.

Pernyataan ini merespon saran dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) agar pemerintah Indonesia tidak menggunakan rapid test untuk deteksi kasus Covid-19.

"Saat ini gold standar untuk tes diagnostik Covid-19 adalah PCR. tes PCR ini akan mendeteksi material genetic virus. Umumnya melalui pengambilan swab lewat hidung pasien. Tes PCR idealnya di negara maju memerlukan waktu 3 sampai 4 jam," ujar Dicky, seperti dilansir dari CNN Indonesia, Kamis, 23 April 2020.



Dicky mengatakan PCR dijadikan pedoman WHO dalam menentukan status konfirmasi positif seorang pasien Covid-19.

WHO tidak akan menerima laporan positif Covid-19 selain dari hasil tes PCR.

Indonesia Disarankan Lakukan 267 Ribu Tes PCR


Dicky menyarankan agar Indonesia melakukan 1 ribu tes PCR per 1 juta penduduk atau sejumlah 10 ribu tes per hari.

Hal ini penting dilakukan agar pemerintah bisa mendapatkan gambaran jumlah orang yang terjangkit Covid-19.

"Setidaknya 1000 PCR tes per 1 juta penduduk atau sejumlah 10.000 tes per hari. Artinya butuh 267 ribu tes di Indonesia mengingat jumlah penduduk sekitar 267 juta," ujar Dicky.

Di satu sisi, Dicky mengatakan jumlah tes tersebut belum ideal, tapi bisa memberikan data awal untuk memberikan gambaran berapa persen penduduk yang sudah terinfeksi.

Oleh karena itu. Dicky mengatakan kapasitas tes harus terus ditingkatkan karena penyebaran Covid-19 akan semakin meluas.

"Kapasitas tes ini harus terus ditingkatkan karena seiring waktu, penyebaran Covid-19 akan terasa dampaknya di daerah atau kepulauan lain. Saat ini epicenter masih berpusat di Jawa, yang akan mengalami masa puncak lebih awal dari wilayah atau kepulauan lain," kata Dicky.
 

Dicky mengatakan  saat ini memang berbagai perusahaan mengeluarkan beragam produk rapid test sebagai respons terbatasnya kapasitas laboratorium berbasis tes molekuler dan reagen.

"Tes sederhana dan cepat ini umumnya memiliki beberapa teknik deteksi, mulai deteksi protein dari sampel saluran napas pasien Covid (dahak) atau deteksi dari darah atau serum untuk melihat respons antibodi terhadap infeksi virus," kata Dicky.

Dicky mengatakan hasil rapid test banyak false negative dan false positive. Potensi hasil false negative (hasil negatif padahal sebetulnya pasien terinfeksi) dan potensi false positive (hasil positif padahal orang tersebut tidak terinfeksi)  dapat mengganggu program pengendalian pandemi.

"False negative sangat berbahaya karena membuat penderita tidak terdeteksi dan tetap menularkan. Akibat lainnya penderita yang tidak terdeteksi tersebut bisa telat mendapat perawatan," ujar Dicky.

 

Sebelumnya, WHO  tidak menyarankan penggunaan rapid test anti bodi atau untuk mendeteksi kasus Covid-19.

Perwakilan WHO untuk Indonesia, dr. Navaratnasamy Paranietharan, mengatakan selama ini WHO hanya melakukan rapid test untuk keperluan penelitian saja, bukan untuk mengonfirmasi kasus positif atau negatif corona.

"WHO tidak merekomendasikan penggunaan diagnosa rapid test berdasarkan anti-bodi sebagai pemeriksaan penanganan wabah corona atau penanganan pasien. Kami tidak merekomendasikan itu," kata Paranietharan saat mengisi webinar yang digagas Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) DPR  pada Selasa (21/4).

R1 Hee.