Ilustrasi/Net
RIAU1.COM - Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyatakan siap berkoordinasi dengan pengembang Bobibos (Bahan Bakar Original Buatan Indonesia, Bos!).
Langkah ini diambil menyusul viralnya inovasi tersebut yang diklaim dapat menjadi bahan bakar alternatif nonfosil.
BRIN berencana menelaah produk dan proses riset yang melatarinya. Upaya ini dilakukan untuk memastikan validitas ilmiah serta potensi penerapan inovasi tersebut di lapangan.
Peneliti Bidang Sistem Penggerak Berkelanjutan, Pusat Riset Teknologi Bahan Bakar BRIN, Hari Setyapraja mengatakan hingga kini pihaknya belum melakukan komunikasi langsung dengan tim pengembang Bobibos. Namun, BRIN berencana segera menjalin kontak dalam waktu dekat.
“Mungkin dalam waktu dekat, pihak BRIN akan berinisiatif untuk berkontak dengan Bobibos terkait inovasi ini. Mudah-mudahan dalam minggu ini atau awal minggu depan kami sudah bisa berkomunikasi dengan pihak Bobibos,” ujar Hari kepada Republika.co.id, dikutip Kamis (13/11/2025).
Ia menegaskan, setiap produk bahan bakar yang akan diedarkan secara luas perlu melalui proses kajian menyeluruh. Pemerintah telah memiliki mekanisme perizinan edar, pengawasan distribusi, dan regulasi teknis yang menuntut jaminan mutu di lapangan.
Menurutnya, keterlibatan BRIN dalam proses tersebut bersifat ilmiah dan mendasar, terutama dalam menilai kelayakan teknologi serta standar kualitas bahan bakar. “Karena ini produk bahan bakar, apalagi jika targetnya untuk transportasi. Itu akan melibatkan konsumen di banyak tempat, sehingga harus ada jaminan terhadap kualitasnya,” kata dia.
Hari menegaskan, peran BRIN lebih pada tahapan riset dan inovasi, sedangkan penentuan izin edar dan komersialisasi berada di bawah kewenangan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
“BRIN itu lembaga riset dan inovasi. Ketika berbicara tentang bahan bakar yang akan dikomersialkan, itu sudah menjadi ranah Kementerian ESDM,” ujarnya.
Ia mencontohkan, dalam pengembangan biodiesel atau biofuel, kajian dilakukan secara menyeluruh dengan melibatkan produsen, pembuat mesin, dan regulator. Hasil akhirnya berupa bahan bakar yang memiliki spesifikasi tertentu sesuai standar mutu nasional.
Hari menambahkan, setiap inovasi energi baru umumnya memerlukan kajian bertahap dari hulu ke hilir. Prosesnya mencakup analisis ketersediaan bahan baku, teknologi konversi, dan kelayakan ekonomi. Dalam konteks Bobibos, bahan dasar berupa jerami dinilai menarik karena termasuk limbah pertanian yang berpotensi besar untuk dikembangkan.
Ia menjelaskan, jerami mengandung komponen selulosa, hemiselulosa, lignin, dan glukosa yang membuatnya bisa diolah menjadi bahan bakar. Komponen tersebut relatif serupa di berbagai wilayah, meskipun konsentrasinya dapat berbeda tergantung kondisi geografis.
“Kandungan jerami di manapun relatif sama. Hanya konsentrasinya yang bisa berbeda-beda, tergantung daerah atau negara. Itu yang bisa berpengaruh terhadap hasil produksinya,” ujarnya.
Menurut Hari, tren riset bioenergi global kini diarahkan pada pemanfaatan bahan non-edible yang tidak bersaing dengan kebutuhan pangan. BRIN juga tengah mengkaji sejumlah sumber energi alternatif seperti kelapa, nyamplung, dan sorgum, termasuk limbah tandan kosong kelapa sawit.
Ia menilai, munculnya inovasi seperti Bobibos menunjukkan tumbuhnya semangat kemandirian energi dari masyarakat.
“Kami sangat mengapresiasi. Pemerintah sekarang memang berupaya mewujudkan kemandirian energi, apalagi yang berbasis bio. Inovasi seperti ini sangat diperlukan dan menggembirakan karena ternyata muncul dari masyarakat,” kata Hari.
Ia berharap ke depan ada pendampingan lebih lanjut terhadap pengembang Bobibos agar proses verifikasi dan validasinya dapat dilakukan secara ilmiah serta teknoekonomis. Dengan demikian, hasil inovasi tersebut bisa memberi kontribusi nyata bagi pengembangan energi bersih dan berkelanjutan di Indonesia.
BRIN menegaskan kesiapan berkolaborasi dengan seluruh pihak terkait. Ini demi memastikan setiap inovasi memiliki dasar ilmiah yang kuat dan manfaat berkelanjutan bagi masyarakat.*