Sekretaris Bidang LIGANA PMRI, Rifky Arifi, SH
RIAU1.COM - Banjir bandang dan longsor yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, tercatat telah menelan ratusan korban jiwa, memutus akses vital, melumpuhkan jaringan komunikasi, serta memaksa puluhan ribu warga mengungsi.
Dalam hitungan hari, wilayah yang selama ini hidup berdampingan dengan gunung, sungai, dan hutan itu berubah menjadi lanskap kedaruratan: jembatan runtuh, rumah tersapu arus, dan keluarga-keluarga terpisah tanpa kabar.
Di tengah situasi duka tersebut, tak menyulut suara kritis dari berbagai pihak dan ragam perspektif. Seperti halnya yang datang dari Bidang Lingkungan Dan Bencana (LIGANA) Persatuan Masyarakat Riau Indonesia (PMRI).
Rifky Arifi,SH, Sekretaris Bidang LIGANA PMRI dengan meyakinkan berkata bahwa apa yang terjadi di sumatera tidak sebatas bencana alam, tapi bencana kebijakan.
Tokoh Pemuda Riau yang juga eks Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Riau Jakarta juga mengungkapkan Bencana tersebut bukan sekadar fenomena alam yang datang tiba-tiba, melainkan tragedi kemanusiaan yang memperlihatkan betapa rapuhnya pelindungan negara terhadap warganya.
“Ketika akses jalan terputus, listrik padam berhari-hari, dan makanan sulit ditemukan, kita melihat jelas bagaimana pemenuhan hak-hak dasar warga tidak hanya ditentukan oleh cuaca ekstrem, tetapi oleh kesiapan, tata kelola, dan pilihan kebijakan negara," sebut dia.
Menurut Rifki, tanggung jawab negara untuk mencegah, memitigasi, dan memastikan penanganan yang cepat serta efektif mestinya menjadi suatu fondasi penting dalam menghadapi situasi bencana.
“Lebih dari sekadar upaya tanggap darurat, bencana ini menuntut kita untuk melihat kembali bagaimana negara menjalankan kewajiban HAM-nya dalam melindungi jutaan warganya dari ancaman yang sebenarnya dapat diantisipasi,” lanjur Rifki.
Dalam mengaitkannya dengan isu HAM, Rifki berpandangan Negara seharusnya menghadirkan kebijakan yang mampu mencegah hilangnya nyawa, bukan sekadar merespons ketika bencana telah terjadi.
“Prinsip 'due diligence' menuntut negara memastikan bahwa wilayah rawan memiliki perlindungan memadai, sistem peringatan dini yang lebih berfungsi, tata ruang yang patuh pada resiko geologis, hingga pengawasan ketat terhadap aktivitas yang mengubah bentang alam," tutupnya.*