
Bahan nampan MBG yang diduga mengandung babi
RIAU1.COM - Badan Gizi Nasional (BGN) memastikan akan mengganti seluruh food tray atau nampan untuk program Makan Bergizi Gratis (MBG) jika produk impor dari Chaoshan, China, tersebut terbukti mengandung minyak babi.
Kepala BGN, Dadan Hindayana, menjelaskan pihaknya masih melakukan pemeriksaan terhadap seluruh nampan yang digunakan dalam program MBG. “Ya, tentu saja (diganti semua). Begini, kita kan harus check and recheck, benar atau tidak ya kan. Sejauh ini semua sudah digunakan,” kata Dadan saat memberikan keterangan kepada media di Istana Kepresidenan Jakarta, Ahad (31/8/2025) yang dimuat Republika.
Ia menjelaskan, penelusuran kandungan minyak hewani babi yang digunakan sebagai pelumas pada nampan MBG masih dilakukan dengan melibatkan Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, serta Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Di sisi lain, Dadan menegaskan proses pengadaan dan pembelian nampan dilakukan oleh mitra atau vendor, bukan langsung oleh BGN. “Perlu diketahui juga seluruhnya dibeli mitra. BGN belum melakukan satu pun pembelian, jadi kita akan cek semua,” ujarnya.
Sebelumnya, beredar laporan di media sosial dari Indonesia Business Post yang melakukan investigasi di wilayah Chaoshan, bagian timur Provinsi Guangdong, China, yang diduga merupakan sumber impor nampan untuk Program MBG di Indonesia.
Dalam laporan itu, tim Indonesia Business Post melaporkan temuan 30–40 pabrik yang memproduksi nampan makanan untuk pasar global, termasuk yang diduga untuk Program MBG di Indonesia.
Laporan tersebut juga mengklaim adanya dugaan praktik pemalsuan label “Made in Indonesia” dan logo SNI pada nampan yang sejatinya diproduksi di China. Selain itu, ditemukan penggunaan nampan tipe 201 yang diduga mengandung mangan tinggi dan tidak cocok untuk makanan asam.
Lebih jauh, laporan itu menyebut adanya indikasi penggunaan minyak babi atau lard dalam proses produksi nampan.
Namun demikian, Badan Standardisasi Nasional (BSN) menegaskan telah menetapkan Standar Nasional Indonesia (SNI) 9369:2025 tentang wadah bersekat dari baja tahan karat untuk makanan guna mendukung Program MBG. Tidak semua jenis baja tahan karat dapat dipakai sebagai wadah makanan, melainkan harus sesuai spesifikasi khusus lembar baja tahan karat (stainless steel) untuk kebutuhan tersebut.
Sebelumnya, Founder Halal Corner Indonesia, Aisha Maharani mengatakan, Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) bersama Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) semestinya turun tangan untuk menelusuri informasi dugaan food tray atau nampan yang terpapar minyak babi secara transparan.
"Jika terbukti (food tray untuk MBG terpapar minyak babi), maka impor harus dihentikan, jika belum jelas, perlu ada penegasan bahwa produk tersebut aman dan halal," kata Aisha kepada Republika, Selasa (26/8/2025)
Aisha juga menegaskan mendukung penuh suara teman-teman pelajar yang mengusulkan penggunaan food tray produk lokal yang jelas halal. Juga mendukung suara teman-teman pelajar yang mengusulkan agar Indonesia tidak bergantung pada impor dari negara yang rawan isu kehalalan. Halal Corner menegaskan ini bukan hanya soal syariat, tapi juga kedaulatan ekonomi bangsa.
Sebelumnya, Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) bersama Pelajar Islam Indonesia (PB PII), Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) dan anggota Poros Pelajar lainnya mengusulkan kepada Menteri Perdagangan (Mendag) Budi Santoso untuk menggunakan produk lokal yang jelas kehalalannya. IPNU bahkan menduga food tray untuk MBG terpapar minyak babi saat pembuatannya di China.
Aisha menilai, kekhawatiran teman-teman pelajar sangat beralasan. Produk yang bersentuhan langsung dengan makanan, apalagi dalam jumlah masif, memang harus dipastikan thayyib dan bebas dari najis berat (mughallazah) seperti babi.
"Saran untuk menggunakan produk baki (food tray) lokal sangat tepat. Indonesia memiliki banyak produsen peralatan makanan yang kualitasnya bagus, dan dengan dorongan pemerintah bisa dipastikan memenuhi standar halal serta menumbuhkan ekonomi dalam negeri," ujar Aisha.
Aisha menegaskan, pemerintah dalam hal ini Kementerian Perdagangan (Kemendag) perlu lebih selektif dalam mengizinkan impor, terutama untuk produk yang menyentuh hajat hidup masyarakat luas. Apalagi jika ada indikasi bahan atau proses yang berpotensi tidak halal.*