
Ilustrasi/net
RIAU1.COM - Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan menegaskan, praktik mencampur jenis beras atau dikenal sebagai pengoplosan beras bukanlah hal yang dilarang, selama dilakukan secara jujur dan transparan.
Pernyataan tersebut disampaikan dalam Rapat Konsolidasi Program Prioritas Pangan, yang digelar di Gedung Sekretariat Daerah Provinsi Jawa Timur, Jalan Pahlawan, Surabaya, Kamis (21/8/2025).
“Saya bilang nyampur (beras) itu tidak apa-apa, yang tidak boleh itu bohong. Dari dahulu memang begitu. Seperti beras ketan dicampur biar pulen, biasa saja,” ujar Menteri Zulhas yang dimuat Beritasatu.com.
Menurutnya, yang menjadi persoalan bukan pada tindakan mencampur beras, melainkan pemalsuan informasi mengenai kualitas beras, khususnya dalam penjualan beras premium.
Zulhas menyoroti praktik kecurangan di lapangan, di mana beras dengan kadar broken rice (beras patah) hingga 50% dipasarkan sebagai beras premium. Padahal, menurut standar, kadar beras patah maksimal untuk kategori premium adalah 15%.
“Kalau broken-nya 30% tetapi diklaim hanya 15%, itu nipu. Banyak yang begitu. Jadi, yang ditindak polisi dan satgas itu kebohongannya, bukan nyampurnya,” tegasnya.
Zulkifli juga mengungkap masih ada kekhawatiran di kalangan pelaku distribusi untuk menyalurkan beras SPHP (Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan) ke pasar tradisional. Hal ini disebabkan oleh maraknya kasus pengoplosan beras yang membuat citra distribusi beras SPHP menjadi negatif.
“Kemampuan packaging dan distribusi belum optimal, tadinya enggan masuk pasar karena takut dioplos,” ujarnya.
Untuk mengatasi masalah tersebut, Zulhas telah menginstruksikan Bulog untuk mempercepat proses pengemasan dan distribusi beras SPHP.
Ia menyarankan agar pendistribusian dilakukan melalui Koperasi Desa Merah Putih (Kopdes) dan jaringan pasar tradisional di seluruh Indonesia.
“Sekarang baru 6.000 ton. Kalau 10.000 ton hanya menjangkau 300.000 penerima. Saya bilang itu kurang. Harusnya sehari bisa 30.000 packaging dan sebar,” kata Zulhas lagi.*