Nilai Desain Keserentakan Pilkada 2024 Bermasalah, Gubernur Sumbar Ajukan Judicial Review

Nilai Desain Keserentakan Pilkada 2024 Bermasalah, Gubernur Sumbar Ajukan Judicial Review

29 Januari 2024
Gubernur Sumatera Barat, Mahyeldi/Kompas.com

Gubernur Sumatera Barat, Mahyeldi/Kompas.com

RIAU1.COM - Terdapat sebanyak 11 kepala daerah mengajukan judicial review terhadap ketentuan Pasal 201 Ayat (7), (8) dan (9) Undang-Undang Pilkada Mahkamah Konstitusi (MK).

Adapun 11 kepala daerah yang bertindak sebagai pemohon di Mahkamah Konstitusi tersebut terdiri dari Gubernur Jambi, Gubernur Sumatera Barat, Bupati Kabupaten Pesisir Barat, Bupati Malaka, Bupati Kebumen, Bupati Malang, Bupati Nunukan, Bupati Rokan Hulu, Walikota Makassar, Walikota Bontang, Walikota Bukittinggi.

Visi Law Office menjadi kuasa hukum dari 11 kepala daerah tersebut. Mereka terdiri dari Donal Fariz (koordinator tim hukum), Febri Diansyah dan Rasamala Aritonang.

Donal Fariz mengatakan, pengujian pasal tersebut berkaitan dengan desain keserentakan Pilkada nasional tahun 2024 yang dianggap bermasalah dan bertentangan dengan konstitusi.

Sebab telah merugikan sejumlah 270 kepala daerah, utamanya terkait terpangkasnya masa jabatan para kepala daerah secara signifikan.

"Secara persentase, jumlah kepala daerah yang dirugikan tersebut mencapai setengah dari jumlah total 546 kepala daerah di seluruh Indonesia atau 49,5 persen dari 546 kepala daerah," ujarnya dalam siaran pers yang dimuat langgam.id, Senin (29/1/2024).

Donal mengungkapkan, para kepala daerah tersebut mewakili kepentingan dari 270 kepala daerah yang terdampak dan mengungkapkan setidaknya terdapat tujuh persoalan dari desain keserentakan Pilkada 2024 yang diatur dalam pasal-pasal yang diuji oleh para pemohon.

Adapun ketentuan dari pasal-pasal yang diuji terang Donal, berbunyi sebagai berikut: Pasal 201 ayat (7) UU No. 10 Tahun 2016: “Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil Pemilihan tahun 2020 menjabat sampai dengan tahun 2024”;

Pasal 201 ayat (8) UU No. 10 Tahun 2016: “Pemungutan suara serentak nasional dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota di seluruh wilayah negara kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan pada bulan November 2024;

Pasal 201 ayat (9) UU No. 10 Tahun 2016: “Untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang berakhir masa jabatannya pada tahun 2022 sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan berakhir masa jabatannya pada tahun 2023 sebagaimana dimaksud pada ayat (5), diangkat penjabat Gubernur, penjabat Bupati, dan Penjabat Walikota sampai dengan terpilihnya Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota melalui pemilihan serentak nasional pada tahun 2024”

Donal mengatakan, sekalipun pasal yang diuji oleh para kepala daerah tersebut telah pernah diuji sebelumnya ke Mahkamah Konstitusi, para pemohon memiliki argumentasi yang berbeda dengan permohonan sebelumnya.

"Dalam pandangan pemohon bersama Visi Law Office sebagai kuasa hukum, pembentuk undang-undang tidak memperhitungkan dengan cermat semua implikasi teknis atas pilihan pilkada serentak nasional tahun 2024 sehingga berpotensi menghambat Pilkada yang berkualitas," ucapnya.

Ia mengatakan, bahwa Visi Law Office mengemukakan tujuh argumentasi hukum pokok. Yaitu, tidak terdapat perdebatan teknis dan substansial dalam pembahasan jadwal Pilkada serentak nasional tahun 2024.

Kemudian, penjadwalan penyelenggaraan Pilkada November 2024 tanpa mempertimbangkan risiko dan implikasi teknis. Tujuan keserentakan Pemilu untuk efisiensi anggaran tidak terlaksana.

Selanjutnya, penentuan jadwal Pilkada serentak nasional 2024 merugikan sebanyak 270 kepala daerah hasil Pilkada 2020.

Berikutnya, keserentakan pilpres, pileg, pilkada membuat potensi korupsi lebih tinggi. Keserentakan pilpres, pileg, pilkada membuat potensi gangguan keamanan dan ketertiban menjadi besar. Adanya potensi penumpukan perkara hasil sengketa pemilihan umum di Mahkamah Konstitusi

"Atas seluruh argumentasi yang dijelaskan secara detail dalam permohonan, para pemohon meminta MK untuk membagi keserentakan Pilkada nasional pada 546 daerah otonomi menjadi dua gelombang. Pelaksanaan gelombang pertama pada bulan November 2024 sebanyak 276 daerah, dan selanjutnya gelombang kedua sebanyak 270 daerah dilaksanakan pada bulan Desember 2025," ujar Donal.

Desain demikian terangnya, menjadi solusi atau jalan tengah di antara problem teknis pelaksanaan Pilkada satu gelombang. Persoalan keamanan hingga persoalan pemotongan masa jabatan sebanyak 270 daerah otonomi sebagai konsekuensi keberadaan pasal-pasal yang diuji ke Mahkamah Konstitusi tersebut.*