Potensi Melimpah Kepiting Bakau Kabupaten Indragiri Hilir

Potensi Melimpah Kepiting Bakau Kabupaten Indragiri Hilir

26 Desember 2023
Hasil tangkapan kepiting bakau yang dikumpulkan di lokasi pengepul di Parit 18 Kelurahan Sapat

Hasil tangkapan kepiting bakau yang dikumpulkan di lokasi pengepul di Parit 18 Kelurahan Sapat

RIAU1.COM - Yayasan Mitra Insani (YIM) melakukan kegiatan umpan balik data perikanan tangkap kepiting bakau di Parit 18

Kelurahan Sapat Kecamatan Kuala Indragiri (Kuindra) pada Selasa 26 Desember 2023.

Dalam program pembukaan tabungan perikanan tangkap kepiting itu Pengurus Yayasan Mitra Insani didampingi juga Camat Kuindra Ahmad Riadi MM, Ketua dan Pengurus PKK Kecamatan Kuindra, Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) serta kelompok nelayan binaan Yayasan Mitra Insani.

Program Officer Fisheries Yayasan Mitra Insani, Muhammad Rukim menjelaskan jika kegiatan ini merupakan rangkaian kegiatan yang sudah dimulai pihaknya sejak Tahun 2021 lalu dengan mulai melaksanakan pendataan di Kecamatan Kuindra yang salah satu wilayah dicoba dikelola perikanannya, terutama untuk kepiting bakau yaitu di Kelurahan Sapat dan Desa Perigi Raja.

Data yang dihimpun YMI untuk jumlah nelayan di Kelurahan Sapat saja yang melakukan aktifitas menangkap kepiting bakau selama 1 tahun yaitu dari dari Desember 2021 sampai Januari 2023 sebanyak 99 orang sehingga pihaknya mencoba masuk kedalam tahap yang lebih serius yaitu dengan melakukan metode penutupan wilayah tangkap, sama seperti metode yang ada di Provinsi Sumbar maupun Kabupaten Kampar yang mana mereka menutup sungai untuk meningkatkan hasil tangkapan nelayan.

"Tapi kita disini yang kita tutup atau dalam bahasa kita ditabung yaitu wilayah perkebunan kelapa masyarakat yang dulunya rusak kemudian ditutup sementara seluas 22,31 hektar dari arah sungai ke daratan. Penutupan ini tidak diberi pagar atau penutup khusus hanya komitmen secara lisan dan diberikan tanda batas saja agar masyarakat bisa tahu mana wilayah yang ditutup dan tidak," ungkap Muhammad Rukim.

Setelah dilakukan pendataan pada September 2021, maka pada September 2022 dimulai proses penutupan pertama dan 3 bulan kemudian yaitu pada Desember 2022 sudah dapat dilihat hasilnya yang cukup memuaskan dimana hasil tangkapan nelayan lebih dari 100 kilogram kepiting bakau.

Dari total tangkapan kepiting bakau yang ditangkap nelayan Kelurahan Sapat selama Bulan Desember 2021 sampai November 2023 sebanyak 82.093 ekor dengan berat total mencapai 22,2 Ton.

"Dari rangkaian itu, pendataan sampai sekarang masih tetap dilakukan dan di sensus per kepiting, dan sampailah di penutupan yang kedua pada September 2023 kemarin dan hari ini kembali kita buka untuk dipanen yang mana hasilnya juga cukup memuaskan," jelas Rukim.

Ditambahkannya, kelompok nelayan yang menjaga dan menutup wilayah tangkapan maka kelompok ini pula yang berhak untuk memanen hasilnya dimana masing-masing orang diberikan 50 alat tangkap kepiting untuk dipasang di wilayah yang telah ditutup.

"Hari ini sekitar 80-90 kilogram tangkapan kepiting berhasil didapatkan namun belum selesai kita hitung semua," tambahnya.

Menurut Rukim, dari data yang dihimpun YMI ada 4 jenis kepiting bakau yang terdapat di Kelurahan Sapat yaitu jenis Scylla Serrata (SS), S Paramamosain (SP), S Tranquebarica (ST) dan S Olivacea (SO) sehingga pihaknya berharap dengan adanya contoh dari program ini, maka masyarakat bisa melihat bahwa efek dari pengelolaan perikanan ini sangat baik, terutama untuk ikan dan kepiting yang memiliki cukup waktu untuk tumbuh besar serta berkembang biak, supaya hasil tangkapan nelayan tidak lagi berupa kepiting kecil tapi sudah menyasar kepiting besar yang tentunya dari segi harga dan pendapatan juga lebih tinggi.

"Data pada Tahun 2022 lalu terdapat sebanyak 14,7 Ton Kepiting Bakau yang ditangkap. Sebagai contoh pada Bulan Januari sampai Maret 2022 saat belum dilakukan program penutupan hasil tangkapan nelayan di Parit 18 Sapat hanya berkisar sebanyak 1.742 ekor sementara setelah dilakukan program penutupan wilayah tangkapan hasilnya pada Januari sampai Maret 2023 mencapai 3.015 ekor atau naik sebanyak 73 persen," katanya.

Dari data Yayasan Mitra Insani saat ini menunjukkan ada perilaku perubahan nelayan yang dari awalnya semua hasil tangkapan diambil namun kini dalam satu tahun terakhir masyarakat sudah mengurangi hasil tangkapan kepiting yang ukurannya dibawah 1 ons untuk dirilis kembali ke alam.

Yang lebih membanggakan, untuk data nilai transaksi nilai jual tangkapan nelayan selama 2 tahun terakhir bahkan sudah mencapai 1,64 Milyar Rupiah dimana pendapatan terbesar terdapat pada size kepiting berukuran AT (3,5-4,9 ons) dengan nilai transaksi mencapai 458 Juta Rupiah dilanjutkan kategori size B dan A serta C.

"Masyarakat juga semakin sadar kepada lingkungan mangrove dimana mereka merasa bahwa menjaga lingkungan mangrove berpengaruh besar kepada hasil tangkapan kepiting sehingga secara sadar secara bersama-sama ikut melakukan penjagaan dan rehabilitasi terhadap wilayah ekosistem mangrove yang ada. Kami berharap dari program ini bisa tertular, kalau di Sapat hanya masih ada satu lokasi mungkin kedepannya bisa bertambah 2 atau tiga dan desa lain juga bisa ikut mencontoh," harap Rukim.

Lebih lanjut, disampaikan Rukim bahwa program penutupan wilayah tangkapan ini bisa dibilang tidak ada modal, dimana dilakukan dengan hanya berbentuk komitmen bersama antara berbagai pihak seperti pemerintah dan masyarakat sebagai nelayan.

"Wilayah yang ditutup diberikan komitmen supaya sama-sama bisa bersabar dan menjaga agar saat dipanen juga bisa sama-sama merasakan manfaatnya. Karena saat ini masyarakat sudah mulai merasakan manfaatnya sehingga ada rencana penambahan wilayah namun kita belum melakukan pengukuran seberapa luasan yang akan ditambah penutupan itu," lanjutnya.

Selain itu, untuk wilayah Kelurahan Sapat lainnya yaitu di Parit 10 juga ada lokasi yang dilakukan penutupan sungai untuk tangkapan udang sepanjang 700 meter namun belum final karena perlu banyak pihak yang dilibatkan supaya wilayah penutupan itu tidak dilanggar dan semua bisa mengerti serta tidak ada pihak yang merasa tidak dilibatkan dalam penutupan tersebut.

"Tahun 2024 kedepan rencananya akan ada juga program pengelolaan perikanan lainnya yaitu di Desa Perigi Raja namun belum masuk dalam tahapan ditutup seperti saat ini," ujarnya.

Diceritakan Rukim, dilapangan kendala utama yang masih dihadapi dalam program ini yang paling jelas itu adalah peracunan sungai, meskipun kalau dilihat memang bukan dilakukan oleh masyarakat setempat tapi oleh oknum dari luar yang mencoba curi-curi kesempatan saat masyarakat lengah meracuni sungai dan menunggu ikan yang ikut arus di muara sungai.

Selain itu, kadang juga masih ditemukan oknum masyarakat yang tidak patuh terhadap komitmen yang dibuat namun seiring berjalannya waktu pelan-pelan ada perbaikan dan diberikan pengertian bahwa keputusan program penutupan ini adalah keputusan bersama yang manfaatnya bukan hanya untuk pribadi sehingga tidak boleh diambil hanya untuk pribadi saja.

"Dalam proses penanganan pelanggaran yang dilakukan mungkin ada juga pihak yang merasa penegakan pelanggaran belum maksimal dilakukan karena saat ini sanksinya masih berupa teguran dari pihak berwajib. Masyarakat yang selama ini menjaga dan meluangkan waktu untuk patroli merasa kecewa namun bagi saya mungkin ini hanya perlu proses dan waktu saja untuk terus mengedukasi dan mengingatkan masyarakat serta seluruh pihak supaya penjagaan ini perlu melibatkan aparat penegak hukum dan semua pihak secara bersama-sama," ceritanya.

*Mimpi Besar Camat Kuindra

Camat Kuindra, Ahmad Riadi MM yang ikut dalam pembukaan tabungan hasil penutupan sementara di wilayah Parit 18 Sapat terhadap pengelolaan perikanan kepiting mengaku melihat hasil tangkapan kepiting nelayan meningkat dari tahun-tahun sebelumnya.

"Ini suatu kemajuan besar dalam kita mengedukasi masyarakat agar ramah lingkungan, tetap menjaga kelestarian sumber daya alam yang ada sehingga akan berimbas pada penerimaan nelayan. Hasil tangkapan ini adalah konsep sadar akan pentingnya kita menjaga alam dan lingkungan, menjaga sungai, tidak meracuni dan menjaga mangrove sebagai tempat hidup keragaman yang ada," akui Camat.

Dengan dibantu dari Yayasan Mitra Insani Pekanbaru yang bekerja di Kelurahan Sapat selama 2 tahun terakhir, Ahmad Riadi menyebut jika hal ini sangat berpotensi untuk meningkatkan penghasilan masyarakat bahkan secara lebih luas diharapkan bagaimana lingkungan yang terjaga ini akan berdampak pada penurunan angka stunting yang mana hasil tangkapan bisa dikonsumsi oleh ibu-ibu sedangkan bapak-bapak dapat membeli susu dan makanan bergizi lainnya untuk keluarga dari hasil penjualannya.

"Saya berharap ini akan jadi rekomendasi kami kepada pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya agar dapat bersama-sama memikirkan keberlanjutan kita dalam menjaga alam dengan segala isinya yang berkonsep hasil hutan bukan kayu. Kita punya konsep kelola hutan yang dipercayakan oleh DLHK Provinsi Riau dan Pusat sebanyak 4.249 hektar hutan dan kami lihat ada potensi yang bisa kita gali yang disambut oleh teman-teman konsorsium untuk membuat kegiatan eksplorasi seperti saat ini," ucapnya.

Camat Kuindra berharap kedepannya disamping mengeksplorasi hasil hutan bukan kayu seperti saat ini, pihaknya juga dapat menyiapkan ekowisata mangrove yang disebut dengan Buntarove atau Kebun Tanggul dan Mangrove sehingga hasil tangkapan kepiting ini hanya sebagian kecil dari ini semua sebagai efek positif dari penjagaan lingkungan yang baik.

"Kuindra dan Sapat yang terkenal dengan ikon wisata religi akan dapat didukung oleh konsep wisata mangrove dan hasil hutan bukan kayunya. Kita juga mulai siapkan kegiatan hilirisasi produk kelapa di sekitar wilayah Utara berbatasan dengan Desa Sungai Piyai yaitu pengembangan industri serabut kelapa coconet dan lainnya yang akan mendukung konsep pemberdayaan masyarakat khususnya di wilayah Kelurahan Sapat, Sungai Piyai dan Desa Teluk Dalam Kecamatan Kuindra disamping juga ada beberapa desa lainnya," harap Camat.

Diakui Ahmad Riadi, hambatan kedepannya yang harus diterobos yaitu masih terdapat masalah permodalan, dimana masih terhalang oleh sistem pemasaran yang ada sehingga efeknya tidak bisa memberikan penerimaan kepada pendapatan daerah dan nelayan secara lebih besar.

"Kita masih menyiapkan bahan mentah saja, sementara pasar utamanya misalnya masih ada di Provinsi Kepulauan Riau yang mengekspor ke luar negeri, sehingga retribusi tidak masuk ke kas daerah kita. Kedepan kita berharap dengan kuatnya permodalan yang ada dapat dibuat projek pilot program hilirisasi sehingga hasilnya dapat dinikmati oleh semua pihak baik masyarakat maupun pemerintah daerah," sebutnya.

Pihak Yayasan Mitra Insani bersama nelayan dan Camat Kuindra 

*Nelayan Sejahtera, Hutan Mangrove Terjaga

Sahran (40) anggota kelompok nelayan Ketam Bangkang dibawah binaan Yayasan Mitra Insani mengaku selama ini program yang dijalankan masih dapat berproses dengan aman dan berkembang bahkan hasilnya terlihat cukup memuaskan bagi nelayan.

Sebelumnya, nelayan setempat hanya mengandalkan hasil tangkapan secara mandiri saja akan tetapi saat ini sudah lebih terprogram dengan jangka panen dalam 3 bulan proses penutupan wilayah tersebut.

"Setelah dilakukan pembinaan dalam program ini, kami merasa ada tambahan dari segi penjualan hasil tangkapan dan pendapatan," cerita Sahran.

Sama halnya dengan Andi Masrapi selaku pengepul hasil tangkapan kepiting nelayan yang mengaku sangat bangga dengan program yang dilakukan oleh Yayasan Mitra Insani ini karena melibatkan semua pihak mulai dari masyarakat nelayan hingga pemerintah setempat sehingga program penutupan wilayah tangkapan kepiting ini sangat berpengaruh pada jenis dan berat hasil tangkapan nelayan seperti contoh kepiting ukuran kategori C bisa naik menjadi B.

"Kendala hanya sempat dirasakan tahun lalu akibat melimpahnya tangkapan kepiting yang tidak berimbang dengan konsumsi dalam daerah sehingga harga proses penjualan sempat terhambat namun tahun 2023 ini sudah tidak dirasakan lagi. Kadang masyarakat juga menjual tangkapan selain kepiting seperti ikan bakut, lokan, udang, kerang dan lidi nipah yang didapatkan karena lingkungan mangrove dijaga dengan baik," ujar Andi.

Saat ini, Andi baru bisa memasok kebutuhan kepiting untuk wilayah Tembilahan, Desa Sungai Bela dan Concong Luar yang bekerjasama dengan pengepul besar lainnya.

Tidak hanya program peningkatan tangkapan hasil laut dan sungai, saat ini Kelurahan Sapat juga sudah memiliki Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) yang bertugas melindungi hutan mangrove dan wilayah didalamnya seperti perairannya, habitat didalamnya serta ikut mengedukasi dan membina masyarakat dalam hal pemanfaatan pohon mangrove dari yang awalnya menebang kayu dengan serabutan dirubah secara bertahap menjadi pemanfaatan sumber daya alamnya misalkan memanfaatkan ikan dan kepiting seperti saat ini.

Juari Ketua LPHD Kelurahan Sapat menjelaskan pihaknya bahkan sudah mulai membuat tambak udang dan lokan di 3 titik di wilayah Sungai Selancar dengan melibatkan masyarakat setempat sehingga aktifitas penebangan hutan mangrove dapat ditekan.

"Setelah beberapa waktu melakukan kegiatan ini, kami merasa banyak perubahan yang dialami seperti mulai timbulnya kesadaran anggota dan masyarakat untuk menjaga dan mengelola lingkungan mangrove dengan baik. Dulu masih banyak oknum masyarakat yang melakukan kegiatan pengracunan sungai namun dengan adanya kegiatan pengawasan ini sudah tidak nampak terlihat lagi," cerita Juari.

Untuk masalah penebangan pohon mangrove, LPHD Sapat juga melakukan tahapan proses edukasi dan pemahaman, yang mana biasanya dilakukan masyarakat dibibir pantai namun kini diarahkan ke wilayah yang agak jauh dari bibir pantai serta dilakukan tebang pilih.

"Kita tidak mungkin langsung menyetop penebangan karena itu juga dibutuhkan untuk pembangunan. Kita lakukan proses rehabilitasi dan reboisasi dengan pembibitan dan penanaman kembali pohon mangrove yang ditebang," lanjut Juari.

Dalam melakukan patroli pengawasan hutan mangrove, pihak LPHD Sapat yang beranggotakan sebanyak 21 orang mengitari area wilayah sekitar 1 bulan sekali yang mana melibatkan kelompok pengawasan, bahkan sudah mulai bergabung dengan pihak Babinsa dan Bhabinkamtibmas setempat sehingga dengan ikutnya aparat penegak hukum itu maka efeknya akan lebih terasa.

"Saat ini memang kami belum memberlakukan hukum atau aturan adat setempat bagi oknum yang tertangkap melakukan pengracunan namun kedepannya setelah bekerjasama dengan aparat penegak hukum ini kami berharap akan ada efek jera bagi oknum yang masih nekat melakukan pengrusakan ini," pungkasnya.