
Ami, nelayan Pulau Subi, Kabupaten Natuna. Foto: Istimewa.
RIAU1.COM -Pagi baru saja merekah di ufuk timur Natuna. Laut Cina Selatan memantulkan cahaya keemasan.
Sementara, perahu-perahu kayu di dermaga Pulau Subi mulai bersiap menembus ombak. Di antara mereka, Amir, seorang nelayan paruh baya, tampak menatap tangki perahunya yang hampir kosong.
“Kalau solar habis, kami tidak bisa melaut. Kadang harus ke pulau seberang dulu untuk isi bahan bakar,” katanya lirih saat dihubungi Suhardi, wartawan di Tanjungpinang, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri).
Bagi Amir dan ribuan warga lainnya, bahan bakar minyak (BBM) bukan sekadar komoditas ekonomi. Ia adalah urat nadi kehidupan. Tanpa BBM, perahu tak bisa melaju, mesin pompa sawah tak berputar, dan generator listrik di rumah-rumah nelayan tak menyala. Energi menjadi penentu denyut nadi perekonomian di gugusan pulau yang terpisah jarak dan ombak ini.
Namun, di Natuna, mendapatkan BBM adalah perjuangan. Di beberapa pulau kecil, masyarakat harus menempuh perjalanan belasan mil laut hanya untuk membeli beberapa liter bensin.
Harga pun bisa melonjak dua kali lipat dari harga resmi. Karena, ongkos distribusi yang tinggi.
“Mau tak mau tetap kami beli. Karena kalau tidak, dapur tak akan berasap,” ucap Amir.
Harapan Baru
Perjuangan panjang itu kini mulai menemukan harapan. Pemerintah melalui Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) menerbitkan Peraturan Nomor 1 Tahun 2025, yang memungkinkan terbentuknya Sub Penyalur BBM di wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T)-termasuk Natuna.
Kebijakan ini menjadi kabar gembira bagi masyarakat kepulauan. Suhardi mengonfirmasi kepada Wakil Bupati Natuna Jarmin yang kebetulan berada di Tanjungpinang pada 19 September 2025. Jarmin menyambutnya dengan optimisme.
“Natuna berada di garis depan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dengan adanya Sub Penyalur, masyarakat di kecamatan yang jauh dari SPBU bisa lebih mudah mendapatkan energi,” ujarnya.
Namun, bagi Jarmin, kebijakan ini bukan sekadar soal menambah titik penjualan bahan bakar. Ia memaknainya sebagai simbol keadilan energi, bukti nyata kehadiran negara hingga ke pulau-pulau terluar.
“Kami berharap kebijakan ini segera diimplementasikan. Supaya, tidak ada lagi masyarakat Natuna yang kesulitan mendapatkan BBM- terutama nelayan, petani, dan warga di pulau-pulau kecil,” tambahnya penuh harap.
Lebih dari Sekadar Solar dan Bensin
Kehadiran Sub Penyalur di Natuna membuka babak baru dalam perjalanan panjang menuju kemandirian energi di perbatasan negeri. Setiap titik penyalur yang kelak berdiri di tepian pulau bukan hanya tempat jual beli bahan bakar. Melainkan, keberadaan para penyalur BBM ini merupakan titik nyala perubahan sosial dan ekonomi.
Dengan akses energi yang lebih mudah, nelayan bisa melaut lebih jauh tanpa khawatir kehabisan solar di tengah laut.
Petani dapat menyalakan mesin pompa air kapan pun dibutuhkan. Dan, anak-anak di rumah bisa belajar di bawah cahaya lampu yang tak lagi padam karena kekurangan bahan bakar.
Meski demikian, perjalanan ini belum sepenuhnya mulus. Pemerintah Kabupaten Natuna masih harus menentukan titik lokasi, menyiapkan infrastruktur transportasi laut, serta memastikan pengawasan. Agar, distribusi tetap transparan dan tepat sasaran. Tapi di balik semua tantangan itu, semangat untuk berubah sudah tumbuh.
Cahaya di Ujung Negeri
Di tepian dermaga Pulau Subi, Amir tersenyum saat mendengar kabar tentang rencana Sub Penyalur. Kalau nanti solar bisa dibeli di pulau sendiri, ia tak perlu lagi menunggu kapal datang.
"Bisa langsung melaut pagi-pagi,” ucapnya dengan nada penuh harapan.
Dari kisah Amir dan warga Natuna, tampak bahwa energi bukan sekadar urusan listrik atau bahan bakar. Ini adalah tentang harapan, martabat, dan keadilan bagi warga di perbatasan negeri.
Dari Sub Penyalur yang akan berdiri di ujung-ujung pulau, cahaya energi mulai menyala di batas utara Indonesia. Ia menerangi perahu nelayan, ladang petani, dan terutama, semangat masyarakat Natuna untuk berdiri sejajar dengan saudara-saudaranya di seluruh Nusantara.
Karena di ujung negeri itu, energi bukan hanya daya yang menggerakkan mesin. Tapi, energi juga kekuatan yang menghidupkan mimpi.