Malapetaka Itu Bernama Malari 1974

Malapetaka Itu Bernama Malari 1974

15 Januari 2020
Ilustrasi [Foto: Istimewa/internet]

Ilustrasi [Foto: Istimewa/internet]

RIAU1.COM - Mengetahui Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka tiba di Bandara Halim Perdanakusuma pukul 19.45 WIB, ribuan mahasiswa dan pelajar SMA turun ke jalan melancarkan protes menentang derasnya investasi Jepang.

Peristiwa ini kemudian dikenal dengan nama Malapetaka 15 Januari 1974 (Malari 1974), dinukil dari tirto.id, Rabu, 15 Januari 2020.

Aksi unjuk rasa itu dipimpin oleh
Hariman Siregar, ketua Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia (DM UI).

Melalui komandonya, para pengunjuk rasa melakukan long march dari kampus UI, Salemba, menuju Universitas Trisakti, Jalan Kiai Tapa, Jakarta Barat.

Yang paling parah unjuk rasa terjadi di Pasar Senen karena massa membakar proyek kompleks pertokoan yang baru dibangun.

Bagi para demonstran, modal dari Jepang untuk Indonesia sudah berlebihan. Itu salah satu penyebab aksi unjuk rasa ini.

Aksi baru berhenti setelah Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) Soemitro turun menenangkan massa.

Dilain tempat aksi unjuk rasa terjadi Kantor Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Jalan Tanah Abang III, Jakarta Pusat hingga memasuki sore hari.

Saat itu peluru peringatan ditembakkan ke udara. Setelah malam tiba, aparat mulai bertindak kasar. Polisi mengangkut sekitar selusin demonstran ke sebuah kantor polisi terdekat.

Keesokan hari demonstrasi tidak kunjung mereda hingga malam hari. Mengakibatkan 807 mobil dan motor buatan Jepang hangus dibakar massa, 11 orang meninggal dunia, 300 luka-luka, 144 buah bangunan rusak berat, 160 kg emas hilang dari toko-toko perhiasan.

Setelah Malari terjadi, Soeharto memecat Soemitro dari jabatan Pangkopkamtib. Ia juga membubarkan lembaga Aspri.

Termasuk menangkap 775 orang aktivis diantaranya tokoh Partai Sosialis Indonesia, aktivis HAM Adnan Buyung Nasution, J.C. Princen, akademisi Dorodjatun Kuntjoro-Jakti.

Selain itu beberapa media yang dianggap memberikan proporsi berita berlebihan dan memanaskan suasana diberedel pemerintah.