Pengamat Sebut George Soros Mungkin di Balik Demonstrasi Rusuh di RI

1 September 2025
Demonstrasi Rusuh di Jakarta beberapa hari lalu

Demonstrasi Rusuh di Jakarta beberapa hari lalu

RIAU1.COM - Pengamat geopolitik yang berbasis di China, Angelo Giuliano, menilai miliarder Amerika Serikat (AS) George Soros mungkin berada di balik kerusuhan yang terjadi di Indonesia.

Giuliano menyoroti maraknya bendera bajak laut One Piece menjelang HUT ke-80 RI. Bendera itu seolah menjadi simbol perlawanan terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah. Setelah itu demonstrasi meletus di Jakarta dan berbagai kota, dipicu soal kenaikan tunjangan anggota DPR RI yang dinilai berlebihan.

Menurut Giuliano, apa yang terjadi di Indonesia mirip dengan kondisi di negara lain, mengindikasikan adanya pengaruh eksternal, sebagai pemicu.

Meski kerusuhan mencerminkan keluhan masyarakat akan kondisi ekonomi, penggunaan simbol bajak laut One Piece, menggemakan kesamaan dengan taktik eksternal. One Piece mengibarkan bendera hitam bergambar tengkorak dan topi jerami sebagai bentuk perjuangan melawan tirani.

Dia menyebut National Endowment for Democracy (NED), lembaga yang telah hadir di Indonesia dan mendanai berbagai program sejak 1990-an ikut berperan.

"Kedua, Open Society Foundations milik George Soros, yang aktif sejak 1990-an, dengan lebih dari 8 miliar dolar AS di seluruh dunia dan mendukung kelompok-kelompok seperti TIFA, mungkin juga berkontribusi," ujarnya, dalam wawancara kepada Sputnik, dikutip  iNews.id, Senin (1/9/2025).

Keterlibatan lembaga-lembaga tersebut menimbulkan pertanyaan tentang agenda asing terhadap Indonesia.

"Ini terkait dengan fokus Indo-Pasifik baru-baru ini di tengah ketegangan seperti konflik Kamboja-Thailand, yang mengisyaratkan motif geopolitik," kata Giuliano.

Analis lain, Jeff J Brown, menilai ada upaya untuk menggulingkan pemerintahan Indonesia saat ini karena dianggap tidak tunduk lagi dengan kepentingan Barat. Presiden Prabowo Subianto dianggap lebih dekat dengan blok Rusia, China, dan lainnya, ditandai dengan bergabung ke BRICS dan SCO (Organisasi Kerja Sama Shanghai). 

"G7 (kelompok negara maju) menginginkan diktator lain yang didukung AS, seperti Suharto di masa lalu," kata Brown, yang juga penulis "The China Trilogy" dan pendiri Seek Truth From Facts Foundation.

Presiden Prabowo, lanjut dia, tidak cocok dengan agenda G7.

"Ini adalah negara Asia Tenggara pertama yang bergabung dengan BRICS dan telah secara terbuka bekerja sama dengan China dalam Inisiatif Sabuk dan Jalan (BRI) global China," ujarnya.

Selain itu, Indonesia merupakan negara dengan ekonomi terbesar kedelapan di dunia dalam hal paritas daya beli (PPP), ekonomi terbesar di ASEAN, dan negara terpadat keempat di dunia dengan hampir 300 juta penduduk.

"Dari sudut pandang imperialisme Barat, semua ini menjadi sasaran empuk bagi Indonesia, target yang sangat layak untuk diserang dengan revolusi warna yang direkayasa Barat," kata Brown.*