
Ketua DPH LAM Riau, Datuk Seri Syahril Abubakar
RIAU1.COM - Dalam ketentuan adat, tanah ulayat boleh dipakai dan dikelola dan ada ketentuan bagi hasilnya. Contoh di zaman penjajahan Belanda saja memberikan pancung alas kepada masyarakat adat.
Demikian dikatakan Datuk Syahril Abubakar saat menerima Simpul Masyarakat Hukum Adat (MHA) Wilayah Kerja Blok Rokan Provinsi Riau di Lembaga Adat Melayu (LAM) Riau.
"Di Pasir Pengaraian, Rokan Hulu hampir 20 persen pajak getah atau hasil alam yang diambil diberikan kepada masyarakat tempatan. Hal yang sama juga di Siak mengenal zaman kupon," katanya.
Sayangnya, setelah PT Caltex Pacific Indonesia (PT CPI) masuk, sebut dia, tidak ada pancung alas yang dibayarkan. Perusahaan minyak ini mengeruk minyak sebanyak lebih kurang 11-12 miliar barel.
"Kalaulah pancung alasnya dibayarkan kepada kita 10 persen saja dari hasil perusahaan ini, berapa ribu miliar uang yang bisa diterima. Dengan uang ini kita bisa menyekolahkan anak dan memajukan kampung halaman dan tidak lagi menjadi penonton,"ujarnya.
Dia menyebut, berdasarkan kesepakatan nanti, akan mengajukan gugatan kepada pihak PT Cevron baik melalui pengadilan dalam negeri ataupun pengadilan luar negeri.
"Ini yang akan dikerjasamakan dengan tim ahli hukum internasional atau hukum adat agar pancung alas dapat dibayar oleh Caltex ataupun Chevron, sehingga semua bisa diberikan kepada masyarakat adat melalui LAM Riau," paparnya.
Menurut dia lagi, tanah ulayat yang dipakai orang merupakan urusan adat. "Disuruhnya kita berpantun-pantun, bersyair, dan berpuisi saja, sementara mereka menggarap hutan tanah kita. Anehnya, yang tidak setuju itu, orang Melayu pula," sebutnya.