
Stasiun pengumpul minyak dan gas PT Pertamina Hulu Rokan/Dok.PHR
RIAU1.COM - Langkah Gubernur Riau (Gubri) Abdul Wahid yang mendorong pelibatan tenaga kerja dan mitra lokal dalam tata kelola sektor minyak dan gas (Migas) di Provinsi Riau, mendapat dukungan Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR).
Ketua Umum MKA LAMR, Datuk Seri HM Marjohan Yusuf, menilai langkah tersebut sejalan dengan semangat kemandirian daerah. Ia menegaskan bahwa anak-anak daerah layak diberi kesempatan bekerja di perusahaan Migas, selama sesuai dengan prosedur dan memiliki kompetensi yang dibutuhkan.
“Riau sangat terbuka, asalkan semua sesuai alur dan patut terhadap ketentuan yang ada. Kita tak ingin anak kemenakan kita duduk di posisi yang tidak layak, tapi kalau memenuhi syarat, mereka harus diberi ruang,” ujar Datuk Marjohan pekan ini.
Datuk Seri Marjohan mendorong perusahaan migas untuk tidak hanya mempekerjakan tenaga lokal, tetapi juga berinvestasi dalam pendidikan. Ia berharap perusahaan memberikan beasiswa kepada putra daerah hingga ke jenjang profesor di bidang perminyakan.
“Ini bukan hal yang mengada-ada. Dulu, saat Sultan Syarif Kasim II memberi izin kepada Belanda untuk mengelola minyak, mereka juga mendirikan sekolah bagi anak-anak tempatan,” ungkapnya.
Sementara itu, Gubernur Riau Abdul Wahid dalam kesempatan terpisah menekankan bahwa sektor migas harus berkontribusi lebih nyata terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. Ia menilai, keterlibatan SDM dan mitra lokal menjadi kunci terbentuknya ekosistem migas yang inklusif.
“Pertumbuhan ekonomi Riau jangan hanya dari hasil minyaknya, tapi dari seluruh proses pengelolaannya. Di situlah nilai tambah bisa diberikan ke masyarakat,” kata Wahid usai menghadiri Sosialisasi Satgas Kelancaran Operasional Migas di Balai Serindit, Pekanbaru.
Wahid juga meminta agar perusahaan migas yang beroperasi di Riau memiliki NPWP di daerah, sehingga pajak badan masuk ke kas pemerintah provinsi. Ia menegaskan perlunya kebijakan afirmatif agar tenaga kerja lokal lebih diutamakan dibandingkan tenaga kerja dari luar.
Ia turut mengingatkan bahwa kekayaan alam, jika tidak dikelola secara adil, justru bisa memicu ketimpangan sosial.
“Sumber daya yang melimpah harus membawa berkah, bukan bencana. Jangan sampai ada disparitas yang memicu gejolak sosial,” ucap Wahid.*