Rapat Akhir GTRA, Bupati Rohil Sampaikan Persoalan Daerah

1 Desember 2025
Bupati Rokan Hilir, Bistamam

Bupati Rokan Hilir, Bistamam

RIAU1.COM - Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) Provinsi Riau melaksanakan rapat koordinasi akhir sebagai upaya memperkuat sinergi penyelesaian masalah pertanahan dan percepatan program reforma agraria di wilayah Riau. 

Kegiatan ini dihadiri oleh para Bupati dan Wali Kota se-Provinsi Riau. Dalam sambutannya, perwakilan dari BPN Provinsi Riau selaku Gugus Tugas Reforma Agraria Provinsi menyampaikan capaian pelaksanaan kegiatan tahun 2025. 

Program redistribusi tanah tahun 2025 menargetkan 3.150 bidang, dengan capaian realisasi fisik 100% serta realisasi anggaran mencapai 99,64% dari total anggaran Rp598.500.000. Capaian ini menunjukkan komitmen kuat dalam mendukung pemerataan penguasaan tanah bagi masyarakat. 

Sementara itu, Plt. Gubernur Riau menegaskan pentingnya penyelesaian berbagai isu strategis, termasuk penuntasan permasalahan batas kanan dan kiri jalan pada kawasan Pekanbaru–Dumai. 

Dia meminta Tim GTRA Provinsi segera melakukan langkah percepatan dan merumuskan solusi yang jelas serta terukur. Plt. Gubernur juga menekankan penguatan Satu Data Agraria melalui mekanisme TORA satu pintu, yang menjadi dasar penyelesaian masalah-masalah agraria secara terpadu. 

Pendekatan penyelesaian konflik pertanahan secara dialogis tetap menjadi prioritas, termasuk percepatan sertifikasi seluruh aset milik Pemerintah Daerah maupun Pemerintah Kota yang hingga kini belum tersertifikasi. 

“Reforma agraria harus benar-benar memberikan dampak langsung pada kesejahteraan masyarakat. Tanah adalah modal dasar yang harus memberikan nilai bagi rakyat,” tegasnya. 

Pada kesempatan yang sama, Bupati Rokan Hilir, H. Bistamam, menyampaikan sejumlah persoalan tanah yang masih terjadi di Kabupaten Rokan Hilir.

Ia menyoroti bahwa daerah tersebut memiliki kebun kelapa sawit terbesar milik masyarakat, namun banyak lahan berada dalam kawasan berstatus HPT dan HPK, sementara masyarakat telah menempati wilayah tersebut jauh sebelum penetapan status kawasan.

"Status HPT dan HPK banyak ditetapkan pada tahun 1960-an, sedangkan kampung-kampung masyarakat sudah ada sejak tahun 1920. Ini membutuhkan kebijakan yang bijak agar hak masyarakat dapat dilindungi,” ujar bupati.*