Menag Nasaruddin Umar
RIAU1.COM - Menteri Agama (Menang) RI, Prof Nasaruddin Umar menegaskan pentingnya transformasi kurikulum pendidikan keagamaan sebagai fondasi utama dalam membentuk wajah umat di masa depan.
Menurutnya, karakter umat apakah moderat, inklusif, atau justru kaku dan eksklusif dapat “diorder” melalui kurikulum yang dirancang secara sadar dan visioner.
Hal itu disampaikan Nasaruddin saat sambutan dalam acara "Review dan Design Direktorat Jenderal Pendidikan Islam (Ditjen Pendis)" di Kantor Kemenag, Jl MH Thamrin, Jakarta Pusat, Selasa (30/12/2025).
“Ada teori yang mengatakan umat seperti apa yang kita akan harapkan di masa depan itu bisa diorder melalui kurikulum. Apakah umat moderat, radikal, liberal itu bisa kita order melalui kurikulum,” ujar Nasaruddin yang dimuat Republika.
Ia menjelaskan, Kemenag kini memperkenalkan Kurikulum Berbasis Cinta (KBC) yang terintegrasi dengan pendekatan ekoteologi.
Kurikulum ini, kata dia, dirancang sebagai kurikulum transformatif yang tidak hanya mentransfer pengetahuan, tetapi juga membentuk cara pandang dan sikap keberagamaan umat.
Menurut Nasaruddin, transformasi pertama yang diusung KBC adalah pergeseran dari teologi yang terlalu maskulin dan berorientasi pada struggle menuju teologi yang bersifat nurturing dan penuh pengasuhan. Ia menyebutnya sebagai transformasi dari teologi uluhiyah ke rububiyah.
“Masyarakat kita tidak akan ramah terhadap alam dan sesama jika sistem teologinya terlalu dipengaruhi kualitas maskulin yang keras. Kita ingin mengarahkan umat menjadi umat yang nurturing, yang memelihara, bukan mendominasi,” ucapnya.
Transformasi kedua, lanjut Nasaruddin, adalah perubahan orientasi keberagamaan dari nomos oriented yang menekankan formalitas dan kategori menuju eros oriented, yakni keberagamaan yang menekankan nilai, substansi, dan cinta.
“Selama ini ukuran keberagamaan kita terlalu formal. Padahal manusia adalah makhluk yang sangat sensitif terhadap cinta. Karena itu, pendidikan keagamaan perlu lebih inklusif, lebih eros, lebih mistikal, dan lebih berorientasi pada kualitas,” katanya.
Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta ini juga menekankan pentingnya transformasi ketiga, yakni pergeseran dari cara pandang antroposentris menuju masyarakat yang ekoteologis. Ia mengingatkan agar konsep manusia sebagai khalifah tidak melahirkan kesombongan kolektif yang menempatkan alam semata sebagai objek eksploitasi.
“Kurikulum ke depan harus melahirkan kesadaran ekoteologis, bukan manusia yang merasa menjadi presiden alam semesta,” jelasnya.
Transformasi keempat yang ditekankan Masaruddin adalah perubahan dari mentalitas atomik dan parsial menuju cara berpikir holistik. Menurutnya, pendidikan selama ini terlalu terjebak pada detail teknis, namun sering lupa pada hakikat dan substansi nilai.
“Jangan sampai kita sibuk membahas aksiden, tapi lupa pada jauhar atau inti ajaran itu sendiri,” ujarnya.*