Percepat Penyaluran Bantuan Tunai

Percepat Penyaluran Bantuan Tunai

26 Maret 2020
warga antri menerima BLT/Jawapos

warga antri menerima BLT/Jawapos

RIAU1.COM -Pemerintah semestinya mempercepat penyaluran bantuan langsung tunai bagi masyarakat yang bekerja di sektor informal dan pekerja upah harian. Stimulus fiskal ini penting untuk menyangga mereka yang rentan kehilangan pendapatan setelah muncul pemberlakuan kebijakan pembatasan interaksi sosial dan bekerja dari rumah akibat pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19).

Pengucuran bantuan tunai untuk saat sekarang jauh lebih penting daripada implementasi Kartu Pra-Kerja yang direncanakan menghabiskan anggaran hingga Rp 10 triliun. Selain mekanisme penyalurannya belum teruji, program bagi para pencari kerja baru ini tidak relevan di tengah situasi darurat wabah virus corona. Saat kondisi ekonomi morat-marit akibat pandemi, industri pasti akan menahan diri mencurahkan investasi, termasuk menyerap tenaga kerja.

Tekanan terhadap perekonomian ini belum akan berhenti karena wabah corona di Indonesia diprediksi terus meluas. Hingga kemarin, sudah 790 orang yang dinyatakan positif terjangkit Covid-19, dengan 58 di antaranya meninggal dan 31 pasien berhasil sembuh. Sejumlah studi menghitung puncak wabah akan terjadi pada akhir April mendatang. Di tingkat global, wabah ini telah menyerang ke 168 negara, menjangkiti 417.582 orang dengan korban meninggal 18.612 jiwa.

Dengan situasi seperti itu, realokasi anggaran mutlak dilakukan untuk menopang masyarakat yang paling rentan terpukul akibat wabah corona. Realokasi diperlukan untuk menaikkan anggaran bantuan sosial, yang tahun ini dipatok Rp 102,9 triliun. Jika tidak ada realokasi, jaring pengaman sosial itu bisa jebol, mengingat realisasi Program Keluarga Harapan pada dua bulan pertama tahun ini saja telah menyedot Rp 30 triliun. Pemerintah bisa memangkas anggaran infrastruktur serta proyek pemindahan ibu kota baru dan mengalihkan dana program Kartu Pra-Kerja untuk program bantuan langsung tunai ini.

Bantuan langsung tunai, juga program lain yang sudah berjalan, seperti Program Keluarga Harapan dan bantuan pangan nontunai, diharapkan bisa menjaga daya beli masyarakat di tengah masa pandemi. Apalagi konsumsi rumah tangga selama ini menyumbang 55-56 persen pertumbuhan ekonomi Indonesia. Tentu saja pemerintah harus memastikan bantuan itu diberikan kepada penduduk yang sangat membutuhkan.


Di sinilah tantangannya. Pada masa lalu, skema pemberian bantuan kepada kelompok miskin ini sering diselewengkan. Cukup banyak penerima bantuan sebenarnya tergolong mampu secara ekonomi, karena itu mereka tidak berhak. Disengaja ataupun tidak, misalokasi dana itu jelas mengoyak rasa keadilan.

Salah satu penyebabnya adalah data yang buruk. Dalam teori ekonomi, kelemahan data ini berpotensi menyebabkan informasi tidak simetris, yang berimbas pada pengambilan kebijakan tidak optimal atau bahkan keliru. Hal ini yang menyebabkan subsidi untuk mengatasi dampak kenaikan harga bahan bakar minyak pada 2005 bocor 5 dan 10 persen dalam dua kali penyaluran. Kesalahan serupa terjadi kembali pada distribusi bantuan langsung sementara masyarakat.

Pemerintah jangan sampai mengulangi kesalahan tersebut karena krisis kali ini akan jauh lebih berat. Jaring pengaman yang sudah disiapkan harus dipastikan jatuh ke tangan yang tepat.
sumber: Tempo