
Podcast Riau24official bersama Budayawan Riau Juswandi
RIAU1.COM - Tradisi Pacu Jalur dari Teluk Kuantan, Riau, tengah menjadi sorotan dunia. Video-video yang menampilkan anak kecil menari di atas perahu panjang yang melaju kencang di sungai telah menyita perhatian netizen global, mulai dari TikTok hingga berbagai platform media sosial internasional.
Budaya lokal yang dulunya dikenal secara regional ini kini viral dan mendunia, namun di balik fenomena ini, Juswandi Budayawan Riau sekaligus Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Lancang Kuning (Unilak) mengingatkan pentingnya menjaga esensi budaya.
Menurut Juswandi dalam podcast riau24 official (21/7), Pacu Jalur bukan sekadar perlombaan mendayung perahu panjang, melainkan simbol kuat gotong royong masyarakat Kuantan Singingi (Kuansing).
“Sebelum membuat jalur (perahu), masyarakat dulu bermusyawarah dengan para ninik mamak untuk mencari kayu. Proses ini dilakukan bersama-sama, lengkap dengan tradisi makan ayam bersama dan melepas ayam sebagai bentuk syukur saat kayu ditemukan,” jelasnya.
Fenomena viralnya Pacu Jalur dinilai wajar oleh Juswandi, menurut dia di era digital saat ini konten yang unik dan kaya akan nilai budaya seperti Pacu Jalur memang mudah menarik perhatian publik global.
“Yang bikin dunia terpukau itu anak kecil yang bisa berdiri dan menari di atas perahu yang melaju kencang. Orang luar menganggap itu luar biasa,” tambahnya.
Di satu sisi, ia melihat dampak positif seperti meningkatnya ekonomi masyarakat lokal dan peluang promosi budaya ke dunia internasional.
“UMKM, penginapan, rumah makan, semuanya menguntungkan. Tapi di sisi lain, masyarakat seperti terpaksa melayani wisatawan, dan bisa jadi budaya yang sakral jadi tontonan semata,” ujarnya.
Isu lingkungan juga menjadi perhatian serius. Kayu untuk membuat jalur kini semakin sulit ditemukan.
“Dulu mudah, sekarang orang harus pergi ke perbatasan Sumatera Barat. Pemerintah harus siapkan hutan lindung, jangan sampai habis,” tegasnya.
Selain itu, Juswandi menyoroti kesiapan infrastruktur yang dinilainya belum maksimal.
“Sekarang saja orang berdesakan untuk melihat Pacu Jalur, apalagi pas puncaknya 19-24 Agustus nanti. Arena panjangnya 1 kilometer, tribun tidak cukup. Apalagi kalau air sungai dangkal saat kemarau, harus digali alat berat,” jelasnya.
Dia pun berharap pemerintah pusat mulai turun tangan, bukan hanya dalam promosi tapi juga perencanaan matang, termasuk panitia dan fasilitas pendukung.
Juswandi berharap perhatian dunia terhadap Pacu Jalur bisa menjadi peluang emas, asal dikelola dengan bijak. MgH