
Ilustrasi: Internet
RIAU1.COM - Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Ilmu agama ini akan dibawa oleh orang-orang yang Iurus pada setiap generasi; mereka akan menolak tahrif (perubahan) yang dilakukan oleh orang-orang yang melewati batas; ta’wil (penyimpangan arti) yang dilakukan oleh orang-orang yang bodoh; dan kedustaan yang diIakukan oleh orang-orang yang berbuat kepalsuan.” (HR lbnu ‘Adi di dalam aI Kamil, al Baihaqi di dalam Sunan Kubra, lbnu ’Asakir di dalam Tarikh Dimsyaq).
Hadits ini jelas dan tegas menunjukkan sifat-sifat pengemban ilmu agama, yaitu 'adalah (Iurus, istiqamah), maka sepantasnya ilmu itu hanyalah diambil dari mereka. Oleh karena itu, banyak peringatan ulama tentang memilih guru agama yang tepat di dalam mengambil ilmu.
Berikut ini di antara perkataan ulama berkaitan dengan hal tersebut, seperti dilansir Instagram @dakwahindah.id, 4 Agustus 2018.
1). Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'anhu berkata:
"Perhatikanlah dari siapa kamu mengambil ilmu ini, karena sesungguhnya ia adalah agama."
Perkataan ini juga diriwayatkan dari sejumlah Salafush Shalih, seperti Muhammad bin Siirin, adh Dhahhak bin Muzahim, dan Iain-Iain (Lihat muqaddimah Shahih Muslim).
2). Abdullah bin Mas'ud Radhiyallahu ’anhu berkata :
"Manusia akan selalu berada di atas kebaikan, selama ilmu mereka datang dari para sahabat Nabi Muhammad n dan dari orang-orang besar (tua) mereka. Jika ilmu datang dari arah orang-orang kecil (ahii bid’ah) mereka, dan hawa-nafsu mereka bercerai-berai, mereka pasti binasa".
3). Imam Malik rahimahullah berkata :
”llmu tidak boleh diambil dari empat orang ; (1) Orang bodoh yang nyata kebodohannya, (2) Shahibu hawa‘ (pengikut hawa nafsu) yang mengajak agar mengikuti hawa nafsunya, (3) Orang yang dikenal dustanya dalam pembicaraan-pembicaraannya dengan manusia, walaupun dia tidak pernah berdusta atas (nama) Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam , (4) Seorang yang mulia dan shalih yang tidak mengetahui hadits yang dia sampaikan. (Jami' Bayanil 'llmi, hlm. 348. Dinukil dari Mauqif Ahli Sunnah wal Jama’ah min Ahlil Ahwa‘ wal Bida‘, hlm. 688).