
Ilustrasi/Merdeka
RIAU1.COM - Bank Dunia (World Bank) telah merevisi garis kemiskinan dan ketimpangan global, yang menunjukkan peningkatan jumlah penduduk miskin di Indonesia dari 171,8 juta menjadi 194,6 juta jiwa.
Menanggapi hal ini, ekonom menilai revisi tersebut bukan sekadar angka statistik, tetapi pengingat agar lebih jujur melihat kenyataan dan lebih adil dalam meresponsnya.
“Perubahan garis kemiskinan global adalah ajakan untuk lebih jujur dalam melihat kenyataan dan lebih adil dalam merespons,” kata ekonom dan pakar kebijakan publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, dalam keterangannya kepada Republika, Rabu (11/6/2025).
Achmad menegaskan, data Bank Dunia bukan semata persoalan statistik, melainkan juga soal keadilan. Ketika standar kemiskinan berubah, yang paling terdampak adalah masyarakat yang hidup paling dekat dengan batas kemiskinan, mereka yang sehari-hari berjibaku dengan ketidakpastian.
“Maka pertanyaannya bukan hanya ‘berapa jumlah orang miskin hari ini?’, tetapi ‘apakah kita cukup jujur dan adil dalam mengukur serta menangani kemiskinan?’” ujarnya.
Ia mencontohkan seorang nelayan di pesisir Lampung yang penghasilannya cukup untuk makan, tetapi tidak untuk menabung atau mengakses layanan kesehatan layak. Dalam standar lama, ia mungkin tidak tergolong miskin ekstrem, namun hidup dalam keterbatasan dan kerentanan.
Naiknya garis kemiskinan dari Bank Dunia dinilai membawa pendekatan yang lebih realistis terhadap kebutuhan dasar manusia, seperti makanan bergizi, air bersih, layanan kesehatan, pendidikan, dan tempat tinggal yang layak.
Menurut Achmad, banyak rumah tangga di Indonesia selama ini hidup sedikit di atas garis kemiskinan. Mereka secara teknis tidak miskin, namun sangat rentan terhadap guncangan seperti kenaikan harga, kehilangan pekerjaan, atau sakit.
“Perubahan garis ini seperti menggeser kamera agar kita bisa melihat lebih jelas bayang-bayang ketidakadilan yang sebelumnya samar. Bukan berarti dunia makin buruk, tetapi kacamata kita kini lebih jernih, dan itu awal dari kebijakan yang lebih berpihak,” ujarnya.
Achmad menilai pembaruan garis kemiskinan oleh Bank Dunia menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah agar lebih jujur memahami kondisi nyata dan bertindak adil dengan kebijakan strategis.
Ia menyebutkan, selama satu dekade pemerintahan Presiden Joko Widodo (2014–2024), angka kemiskinan memang berhasil ditekan hingga di bawah sembilan persen, lewat infrastruktur hingga pelosok dan program seperti Kartu Sembako, PKH, dan JKN.
“Ini pencapaian yang patut dihargai. Namun, ketika garis kemiskinan dinaikkan, tampak bahwa banyak dari mereka yang dianggap 'bukan miskin' ternyata masih jauh dari sejahtera,” katanya.
Dengan standar baru, puluhan juta jiwa kini kembali terdata sebagai masyarakat miskin ekstrem. Pemerintah dinilai perlu mengevaluasi dan merumuskan kebijakan yang lebih berpihak.
“Ini alat evaluasi yang adil bahwa ternyata program pemerintah 10 tahun terakhir belum sepenuhnya berhasil. Dan pada 2025 ini, tantangan baru muncul: realitas biaya hidup yang makin tinggi,” ujar Achmad.
Ia mengatakan, era pemerintahan Presiden Prabowo Subianto menghadirkan momentum baru, terutama dengan pembentukan Badan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem (BP2K) yang diharapkan lebih efektif dan terkoordinasi.
Namun, menurutnya, tantangan ke depan bukan sekadar menyalurkan bantuan lebih banyak. “Tantangannya adalah bagaimana menjadikan kebijakan anti-kemiskinan sebagai jalan membangun keadilan sosial yang sesungguhnya,” tegasnya.
Achmad menekankan perubahan garis kemiskinan seharusnya menggeser paradigma dari sekadar membantu orang miskin menjadi menghapus kondisi yang memiskinkan. Negara harus berperan lebih sebagai pengatur ulang sistem ekonomi yang adil.
“Misalnya, bagaimana pemerintah menata alokasi anggaran? Apakah subsidi energi benar-benar dinikmati rakyat kecil atau malah menguntungkan kelompok menengah atas? Apakah program UMKM menyentuh pelaku mikro perempuan di desa atau hanya menjangkau yang sudah mapan?” katanya.
Ia menegaskan, langkah teknokratis seperti pemutakhiran DTKS, digitalisasi bantuan, hingga reformasi fiskal memang penting, tetapi semuanya harus disertai keberpihakan nyata.
“Tanpa keberpihakan, kita hanya akan membungkus kemiskinan dalam angka-angka baru, bukan menghapusnya,” ujar Achmad.8