UMKM Dapat Kelonggaran Sertifikasi Halal hingga 2026

15 November 2025
Ilustrasi/Net

Ilustrasi/Net

RIAU1.COM - Pemerintah melalui Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) mempertegas tahapan kewajiban sertifikasi halal bagi semua produk yang beredar di Indonesia. Kebijakan bertahap ini bertujuan agar implementasi berjalan teratur dan memberikan waktu penyesuaian, terutama bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).

Deputi Bidang Registrasi dan Sertifikasi Halal BPJPH, Mamat Salamet Burhanudin, menjelaskan bahwa kewajiban ini merupakan amanat Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, yang lahir dari aspirasi masyarakat agar negara memastikan kepastian hukum kehalalan produk.

"Undang-undang ini lahir karena masyarakat menginginkan negara hadir untuk memastikan kepastian hukum mengenai kehalalan sebuah produk,” ujar Mamat, dalam  acara Training of Trainer (TOT) Ekonomi dan Keuangan Syariah yang diselenggarakan Bank Indonesia bersama Forjukafi di Jakarta, Jumat 14 November 2025 yang dimuat Rmol.

Regulasi ini kemudian disesuaikan melalui UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja untuk membuat proses sertifikasi lebih terjangkau dan diterima luas, termasuk oleh UMKM. Namun, Mamat menekankan bahwa tujuan utamanya tetap sama, yaitu mewajibkan semua produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di Indonesia untuk bersertifikat halal.

Dalam implementasinya, pemerintah menetapkan tahapan kewajiban halal secara bertahap. Pada 2024, kewajiban diberlakukan untuk produk makanan, minuman, jasa penyembelihan, serta bahan baku makanan. Namun UMKM dan produk luar negeri diberi relaksasi hingga 2026 untuk menyesuaikan diri. 

Memasuki 2026, kewajiban diperluas mencakup obat tradisional, suplemen, kosmetik, dan barang gunaan. Kemudian hingga 2034, kewajiban sertifikasi halal juga akan berlaku bagi alat kesehatan kategori C.

Di sisi lain, BPJPH juga membagi produk ke dalam tiga kategori utama dalam pengaturan halal. 

Pertama, produk yang wajib bersertifikat halal, yakni produk yang melalui proses pengolahan, seperti makanan olahan atau sajian di restoran. Kedua, produk yang tidak diwajibkan memiliki sertifikat halal, yaitu komoditas segar tanpa proses, seperti buah-buahan, cabai, dan beras. Ketiga, produk yang justru wajib memiliki keterangan tidak halal, khusus bagi barang yang memang termasuk kategori tidak halal.

Dengan penjabaran tersebut, pemerintah berharap kebijakan halal dapat dipahami secara lebih mudah oleh masyarakat dan pelaku usaha, serta mendorong kesiapan semua pihak dalam mengikuti tahapan yang telah ditetapkan.*